"Ayolah, Zeri! Untuk apa kau ikut ke Indonesia? Bukankah lebih baik kau tetap di Amerika? Jika kau ikut, tidak ada yang mengurus perusahaan disana." Tanya David.
"Entahlah. Tapi aku mau pulang, biarkan aku disana tiga hari saja. Ada seseorang yang ingin aku temui." Jawabku.
"Kau ini, jika kau tidak ikut, aku bisa berangkat langsung dari Jepang." David mengeluh.
Lima hari yang lalu. Tepat lima hari yang yang lalu di San Francisco.
Rasanya perasaanku menggila saat aku bertemu sahabatku, Henry, di San Francisco. Aku memang rindu dengan sahabatku itu tetapi melihatnya membangkitkan rasa rinduku kepada orang lain.
"Sudah berapa lama di sini?" Tanyaku.
"Dua tahun." Jawabnya singkat.
"Belajar?" Tanyaku. Aku tahu jika ia adalah salah satu mahasiwa lulusan terbaik di universitas terbaik di Indonesia. Semua alumni sekolahku membicarakannya sebagai perangai yang sukses.
"Bekerja." Jawabnya.
Hening.
"Bukankah kita seharusnya kau menghubungiku? Haha." Aku pun mengeluarkan gurauan yang tidak lucu.
"Aku berniat menghubungimu saat situasi keuanganku lebih baik." Jawabnya.
Aku tidak mengerti mengapa suasana diantara kami begitu mencekam.
Hening.
"Kapan kau akan ke Indonesia?" Tanyaku.
"Entahlah."
Aku tidak tahan menahan pertanyaan ini, aku harus berani menanyakan hal itu.
"Bagaimana hubunganmu dengan Cyntia?" Tanyaku.
Henry pun menoleh ke arahku.
"Kami tidak pernah pacaran, mana mungkin aku lebih memilih wanita dibandingkan sahabat haha. Aku tahu kau suka dengannya." Balas Henry.
"Ayolah, aku hanya senang mengejeknya bukan mencintainya!" Jawabku, bohong.
"Seharusnya aku memacarinya." Ucapan yang membuat kami tertawa, meski hatiku terasa tertimpa baja saat menertawakan ucapan itu.
Hening.
"Tapi, aku tidak seperti dulu. Aku sudah lama berencana melamarnya hanya saja keuanganku masih tidak mendukung." Balasnya.
Ayolah, aku harus berusaha melangkah maju dan melupakan cinta pertamaku!
"Jika kau bertemu Cyntia, katakan aku memohon maaf padanya." Ucapku.
"Katakanlah sendiri agar ia lebih tulus memaafkanmu."
Itulah alasanku mengapa aku harus kembali pulang. Aku harus memohon maaf, pergi dan belajar mengikhlaskannya. Kita sudah tidak bertemu enam tahun, pasti akan lebih mudah melupakannya.
"Kita makan siang sebentar, ya. Setelah itu aku rapat. Kau boleh pulang lebih dulu karena rapat akan cukup lama." Ucapan kakakku mengagetkanku hingga aku berhenti bernostalgia.
Tak terasa saat ini sudah berada di daratan ibu kota, mobil melaju dengan cepat dan pemandangan begitu berbeda dari enam tahun yang lalu.
"Ayah dan ibu terus menerus memaksaku menemui seseorang. Katanya keluarganya ingin ia dijodohkan denganku." Ucapan kakakku membuatku tertawa.
"Kau mau?" Tanyaku.
"Jika ia pintar, cerdas, baik dan tidak mencintai pria lain,aku pasti mempertimbangkan. Aku tak perlu berfikir panjang jika ia juga cantik." Tipe perempuan kami sama.
Kami pun tiba di restoran yang sangat tidak asing bagiku. Aku sering datang ke tempat ini saat aku menenangkan fikiranku. Aku juga masih ingat betul jika restoran ini terhubung dengan tempat perkemahan dan danau kecil yang indah.
"Masuklah, meja nomor 4!" Kakakku memberi tahu.
"Kau mau kemana?" Tanyaku.
"Toilet, aku sudah tidak tahan." Perutnya memang mulas sejak di dalam pesawat.
Pelayan pun menghampiriku untuk menunjukkan sebuah meja yang kami pesan. Sepertinya kakak telah memberi tahu pelayan untuk menunjukkan tempatnya kepadaku. Aku tiba di meja nomor 4, aku pun memandangi tempat perkemahan dan danau yang indah itu.
Kenanganku bersamanya memang tak banyak karena ia selalu menjauhiku dan menghindariku. Namun, aku selalu menatapnya dari kejauhan. Aku tersenyum saat melihatnya tersenyum meski tersenyum kepada orang lain. Aku ingat betul jika aku diam-diam membantunya menyalakan api unggun dan membangun tenda.
"Selamat datang di Indonesia. Tempat itu adalah tempat berkemah, saya pernah-" Suara yang sangat mengagetkanku. Mataku terpaku saat aku melihat orang yang aku fikirkan berada di hadapanku. Apakah ini halusinasi visual?
Mataku membesar saat aku melihatnya. Bibirku tersenyum begitu saja. Aku tidak menyangka jika kami akan bertemu seperti ini, pertemuan kami lebih cepat.
"Kita memang pernah berkemah disana saat SMA, bukan?" Aku membuka suara. Ia diam.
Namun, tatapannya saat menatapku masih sama. Ia masih saja menyembunyikan tangannya yang gemetar di bawah meja. Matanya tampak berkaca-kaca seakan ingin menangis. Setakut itukah ia padaku?
Aku hanya ingin meminta maaf padanya. Mengapa ia takut padaku? Aku hanya ingin berkata 'mohon maafkan aku', itu saja.
Sebentar,
Mungkinkah ia wanita yang dijodohkan oleh kakakku?
***
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't call it love!
Teen FictionSemesta rasanya tidak berpihak pada Cyntia. Tidak hanya perusahaannya yang sedang berada dibawah roda kehidupan, tetapi neneknya sakit dan terus memaksanya menikah. Orang yang ia cintai dan mencintainya pun hilang tak ada kabar. Tak ada pertolongan...