"Kau pernah hampir mencelakaiku disana!" Ucapan Cyntia sungguh menghentikan waktuku.
Jujur, aku sangat takut untuk melihat ekspresi wajahnya saat ini. Aku takut ia mengeluarkan ekspresi yang tak aku harapkan. Pada akhirnya aku hanya berani menundukkan kepalaku.
Bukankah hubungan kami sudah membaik? Mengapa ia mengingat kesalahpahaman itu lagi?
"Tapi berkatmu, aku memiliki sahabat yang sangat baik. Terimakasih banyak." Lanjut Cyntia.
Aku pun memberanikan diriku untuk mengangkat kepalaku secara perlahan. Secara perlahan pula, mataku berusaha melihat wajahnya.
Ia menatap tempat perkemahan itu dari jendela yang berada di sisi kirinya. Tak ada kebahagiaan atau kesedihan yang tersirat dari wajahnya, seakan ekspresinya hanya datar.
Aku pun menatap tempat perkemahan itu,
Aku memulai bernostalgia.
Memutar kembali kenangan itu di kepalaku.
Saat kami memakai seragam putih dan abu-abu.
Sebelum kami melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, sebagai tanda perpisahan selalu ada kegiatan yang dinamakan '1000 lilin' di tempat yang sedang kami tatap bersama.
Namanya memang 1000 lilin tetapi kami tak menggunakan lilin sebanyak 1000 batang. Kegiatan rutin yang dilakukan sekolahku sebagai salah satu agenda perpisahan. Kegiatannya sederhana. Kami berkemah dari hari sabtu sore hingga minggu sore, melakukan aktivitas seperti berkemah biasanya. Namun, pada malam minggu lilin akan berbaris membentuk sebuah lingkaran dan semua murid kelas XII akan duduk ditengah lingkaran itu. Awal acara, wali kelas akan memberikan nasihat kepada kami. Lalu dilanjutkan dengan beberapa murid yang memberi pengakuan tentang berbagai banyak hal, seperti mengakui kebohongannya, mengungkapkan rahasia yang terpendam di sekolah, mengakui menyukai teman di sekolah, menagih hutang kepada teman walaupun itu jarang dilakukan, meminta maaf, mengaku membenci seseorang dan banyak hal lainnya. Pengakuan seperti itu akan dibicarakan di depan umum. Wajar saja jika beberapa senior sekolahku mengatakan jika acara itu akan menjadi acara perpisahan yang paling menyenangkan.
Aku salah satu panitia acara itu. Padahal sudah puluhan kali menolak menjadi panitia tetapi tetap saja orang-orang memilihku. Dengan amat terpaksa, aku menjadi panitia kegiatan itu.
Dari semua hari, hari ini adalah hari yang paling aku nantikan saat itu. Ditengah banyaknya lilin, walaupun ditengah keramaian pula, disitu aku akan meminta maaf kepada Cyntia. Aku juga akan memberanikan diriku untuk mengatakan perasaanku yang sudah lama terpendam.
Membicarakan Cyntia,
Mungkin Cyntia tidak menyadarinya jika di hari itu mataku sungguh terpaku padanya. Saat itu aku berusaha memberanikan diriku untuk menatap Cyntia tanpa harus merasa sungkan pada Henry, tentu karena saat itu keputusanku sudah bulat bahwa aku akan mengakui perasaanku. Jika persahabatanku dan Henry akan retak, aku akan berusaha pula memperbaikinya.
Mengapa hanya saat itu keberanianku muncul?
Jawabannya, karena otakku yang bodoh ini baru saja berfikir 'bagaimana jika Cyntia dan aku takkan pernah bertemu lagi?' atau 'bagaimana jika aku takkan pernah melihat Cyntia lagi?'. Mungkin terdengar aneh, saat di usiaku saat itu rasanya aku terlalu dimabuk cinta olehnya. Aku bahkan tak mau membayangkan jika Cyntia tak lagi aku lihat. Alasannya sederhana, tentu karena itu menjadi salah satu hal yang sangat menakutkan bagiku.
Meski sesekali aku goyah saat itu karena orang yang sedang aku perhatikan secara diam-diam sedang memperhatikan sahabatku secara diam-diam juga. Tanpa sadar aku juga melihat sahabatku yang begitu terang-terangan memperhatikan orang yang aku suka. Sungguh tak enak jika berada di posisiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't call it love!
Teen FictionSemesta rasanya tidak berpihak pada Cyntia. Tidak hanya perusahaannya yang sedang berada dibawah roda kehidupan, tetapi neneknya sakit dan terus memaksanya menikah. Orang yang ia cintai dan mencintainya pun hilang tak ada kabar. Tak ada pertolongan...