16

62 4 3
                                    

"Tolong jangan datang ke apartmentku!" Caranya menyambutku cukup menyakitkan.

Seharusnya kau menyambutku layaknya tunanganmu.

Aku pun mendorong pintu apartmentnya dengan paksa. Tempatnya sangat bersih, meski sangat sunyi. Tempat tinggalnya memang cukup besar, meski tak sebesar apartment milikku. Semua barang sangat tertata tetapi karena tak ada yang menyentuhnya. Keadaan tempat tinggalnya masih sama dengan keadaan saat aku berkunjung. Aku yakin, rak di dapur atau di lemari pendingin hanya ada air mineral dan beberapa bungkus mie instan. Ia benar-benar gila kerja hingga lupa caranya beristirahat.

"Sebentar lagi jam 8, aku harus pergi ke kantor." Ucapnya, sambil mengikat rambutnya.

Aku lebih suka saat rambutnya terurai.

"Kenapa datang kesini?" Tanyanya lagi.

"Maaf." Ucapku sambil menatap matanya.

Ia diam.

"Maaf." Ucapku, aku benar-benar tulus.

Ia masih tak bicara. Ia melangkah ke arah sofa dan duduk di hadapanku.

"Kenapa?" Ia bertanya.

"Maafkan semua kesalahanku." Ucapku.

Ia masih diam. Mata kami bertemu. Tujuanku meminta maaf bukanlah untuk bertengkar dengannya, tetapi mengapa ia terlihat kesal dengan permintaan maafku.

"Kesalahanmu terlalu banyak." Ucapnya, sambil tersenyum sinis di hadapanku.

Aku tak percaya jika permintaan maafku akhirnya membuatnya kesal.

"Aku tahu. Mungkin tak cukup dengan aku meminta maaf. Lalu, apa yang harus aku lakukan?" Ungkapku lagi.

"Akhiri hubungan ini dan aku memaafkanmu. Kau tahu, jika aku sangat muak bersandiwara di hadapan orang lain. Aku terlihat mencintaimu, tetapi nyatanya tidak sama sekali." Terkadang ucapannya benar-benar menyakitkan.

"Memangnya kau tidak lelah bersandiwara?" Tanyanya.

Aku diam.

Aku tak bersandiwara.

"Tidak." Balasku.

"Aku tahu jika aku banyak melakukan kesalahan di masa lalu. Tapi ingatlah, semua kesalahan tidak hanya padaku. Kau tahu kenapa beberapa orang tertindas? Jawabannya karena mereka menunjukkan kelemahan mereka dengan mudahnya." Aku menjawab sesuai dengan apa yang ada di kepala dan hatiku.

Ia diam.

Aku pun berdiri dari sofa itu.

"Aku memang bersalah saat itu, aku sungguh minta maaf. Jika kau tersiksa saat itu, seharusnya kau melawan. Mengapa menjadi lemah?" Lanjutku.

Ia mulai menatap mataku lagi.

"Tetap saja, aku yang paling bersalah sehingga aku meminta maaf padamu. Kau tidak bisa menghilangkan semua rasa bencimu padaku, bukan? Tak apa. Tetapi tolonglah kurangi sedikit demi sedikit. Aku mohon."

Ia terus menatapku. Matanya mulai berkaca-kaca. Ayolah, jangan menangis! Aku lebih senang jika ia memaki atau menghajarku daripada harus menangis.

"Ibuku memintamu datang ke rumahku sesekali. Aku tak memaksa kali ini karena aku tidak ingin kau datang ke tempat tinggal orang yang kau benci. Jika sudah sedikit memaafkanku, datanglah sebagai tunanganku!"

Ya, sebagai tunanganku. Aku tak tahu hingga kapan hubungan ini bertahan. Mungkin sesaat. Setidaknya, tak apa beberapa saat aku menganggapnya sebagai tunanganku.

***

Apa? Maaf?!

Ia gila.

Aku takkan bisa memaafkannya. Entahlah, mungkin rasa benci itu sudab berakar.

"Maaf." Ucapnya, aku yakin jika ia tak tulus meminta maaf.

Aku pun melangkah ke arah sofa dan duduk di hadapannya. Mata kami bertemu. Aku masih diam karena masih kesal dengan apa yang ia ucapkan. Ia meminta maaf dengan mudahnya saat aku bertahun-tahun tersiksa.

"Kenapa?" Aku bertanya. Aku yakin pasti ada yang ia rencanakan.

"Maafkan semua kesalahanku." Ucapnya, suaranya lebih pelan.

Aku masih diam. Aku tak tahu apa rencana Zeri kali ini. Ia datang ke tempat tinggalku tiba-tiba dan dia meminta maaf dengan begitu mudahnya. Hidupnya sangat nikmat.

"Kesalahanmu terlalu banyak." Ucapku jujur.

Aku yakin jika permintaan maafnya tidak tulus.

"Aku tahu. Mungkin tak cukup dengan aku meminta maaf. Lalu, apa yang harus aku lakukan?" Ungkapnya lagi.

"Akhiri hubungan ini dan aku memaafkanmu. Kau tahu, jika aku sangat muak bersandiwara di hadapan orang lain. Aku terlihat mencintaimu, tetapi nyatanya tidak sama sekali." Balasku. Dengan mengakhiri pertunangan palsu ini, aku bisa sedikit memaafkannya. Dan lagi, bagaimanapun caranya sulit dan melelahkan rasanya berpura-pura baik kepada orang yang aku benci.

"Memangnya kau tidak lelah bersandiwara?" Lanjutku.

Ia diam dan tak lagi menatapku.

"Tidak." Balasnya.

"Aku tahu jika aku banyak melakukan kesalahan di masa lalu. Tapi ingatlah, semua kesalahan tidak hanya padaku. Kau tahu kenapa beberapa orang tertindas? Jawabannya karena mereka menunjukkan kelemahan mereka dengan mudahnya." Aku tak percaya jika ia menyalahkanku. Walau apa yang ia katakan tak semua salah.

Ia pun berdiri dari sofa itu.

"Aku memang bersalah saat itu, aku sungguh minta maaf. Jika kau tersiksa saat itu, seharusnya kau melawan. Mengapa menjadi lemah?" Lanjutnya.

Aku mulai menatap matanya lagi.

"Tetap saja, aku yang paling bersalah sehingga aku meminta maaf padamu. Kau tidak bisa menghilangkan semua rasa bencimu padaku, bukan? Tak apa. Tetapi tolonglah kurangi sedikit demi sedikit. Aku mohon."

Aku terus menatapku. Semakin lama, kata-katanya semakin membuatku kesal. Sungguh, aku sangat kesal.

"Ibuku memintamu datang ke rumahku sesekali. Aku tak memaksa kali ini karena aku tidak ingin kau datang ke tempat tinggal orang yang kau benci. Jika sudah sedikit memaafkanku, datanglah sebagai tunanganku!" Ucapnya dan ia melangkah pergi

Aku tak tahu apakah ia tulus atau tidak.

Tapi,

Ini kali pertama ia bersikap baik di hadapanku dan menghargaiku sebagai manusia.

***
Bersambung.

Don't call it love!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang