"Tanda tangani ini dan ini!" Kezia memberikanku beberapa dokumen.
Baru saja aku memasuki ruang kerjaku, tetapi Kezia sudah menyuruhku membaca dan menandatangani beberapa dokumen. Hari ini aku sangat malas.
Sejujurnya aku ingin bercerita kepada Kezia jika aku baru saja menemui Henry. Namun, apakah ini waktu yang tepat untuk bercerita. Mengeluarkan suara saja sudah malas sekali rasanya, apalagi harus menjawab pertanyaannya nanti.
"Kau tadi menemuinya?" Tanya Kezia dengan santai.
Aku diam. Mataku membesar saat mendengar pertanyaan Kezia. Mungkinkah ia tahu jika aku baru saja menemui Henry?
"Kau tidak bertemu dengan Zeri dibawah?" Tanya Kezia.
Aku diam.
Apakah ia sudah pulang?
"Apa baru saja Zeri datang? Kapan?" Tanyaku dengan suara pelan.
"Tidak, aku fikir kau makan siang dengannya seperti biasa." Jawab Kezia.
Aku diam. Rupanya salah paham.
"Dia belum pulang dari Amerika." Balasku sambil membantingkan diri ke atas sofa.
"Hah? Dia sudah pulang sejak kemarin malam. Tadi pagi sekertarisnya meminta dokumen ini agar dikirimkan saja karena Zeri tak bisa datang untuk beberapa hari ini. Ia sedang sibuk di perusahaannya."
***
Aku masih tak percaya jika aku datang ke perusahaan Zeri setelah jam kerjaku selesai. Lucunya, aku benar-benar segera datang dengan mengendarai mobil dengan kecepatan yang dapat membahayakan lalu lintas bahkan membahayakan diriku. Entahlah, rasanya ada sifat impulsif yang memaksaku harus datang ke tempat ini untuk melihat wajahnya.
Tapi,
Aku hanya berdiri di depan perusahaannya sambil menatap ruangannya di lantai tertinggi, lantai dua puluh, ya aku menatap tempat itu dari tepi jalan. Aku melihat lampu ruangannya yang masih menyala. Aku terus menebak-nebak sedang apa ia disana. Apakah ia sedang sibuk hingga tak bisa menemuiku?
"Cyntia?" Seseorang memanggilku, rasanya suara itu tak jauh dariku. Suara itu juga tak asing. Aku pun menoleh ke arah suara itu.
Mataku membesar, rasanya kesal sekali dengan apa yang aku lihat saat ini.
Aku melihat Zeri.
Namun, bukan Zeri yang membuatku kesal.
Hal yang membuatku kesal adalah seorang wanita sedang berjalan berdampingan dengannya.
Siapa wanita itu? Ia terlihat sangat cantik. Penampilannya sangat anggun, jauh berbeda denganku yang selalu memakai setelan pakaian untuk bekerja di kantor.
Mengapa ia terlihat sangat akrab dengan Zeri?
Mengapa wanita itu yang ditemui Zeri setelah ia pulang?
Apakah mereka sering menghabiskan waktu bersama?
"Hai, darimana saja?" Dari semua pertanyaan, hanya pertanyaan itu yang aku keluarkan.
Zeri menatap wanita itu dan tatapannya bertemu dengan tatapan wanita itu. Menyebalkan.
Apa mereka sedang berusaha mencari alibi?
"Makan malam di luar." Jawabnya singkat.
Biasanya aku yang menemani Zeri untuk makan malam, bahkan makan siang
Menyebalkan!
"Apa yang sedang kau lakukan disini?" Tanya Zeri.
Ah, aku bahkan tak tahu harus menjawab apa.
Aku ingin membalas pertanyaannya dengan pertanyaan seperti 'mengapa tak menghubungiku selama di Amerika?' atau 'mengapa tak memberiku kabar jika sudah pulang?' atau 'apakah kau sudah tak peduli denganku?', ya banyak pertanyaan di kepalaku saat ini.
"Hanya lewat." Jawabku berbohong.
Zeri hanya mengangguk.
Wanita itu pun berbisik pada Zeri.
Ah, menyebalkan. Apakah aku harus pergi?
"Oh, kenalkan namanya Cinta, dia sahabatku di Amerika." Aku tak percaya jika wanita itu sebatas sahabat. Tidak ada persahabatan diantara wanita dan pria.
"Cyntia. Calon istrinya." Aku memperkenalkan diriku. Sifat anehku ini pun muncul. Rasanya terlalu kekanakan, bukan?
***
Akhirnya aku datang ke ruang kerja Zeri lagi. Namun, aku tak percaya jika Cinta juga ikut masuk ke ruang kerjanya.
Menyebalkan.
"Wow, tata ruanganmu ini seperti rumahmu di Amerika." Ucapan Cinta yang benar-benar membuatku ingin segera keluar dari ruangan ini.
Zeri tertawa pelan. Menyebalkan!
"Kau yang menata rumahku. Kita bahkan berdebat. Rumah itu tempat tinggalku tetapi dua temanku yang keras kepala itu terus saja berusaha untuk mengatur tataan rumahku." Balas Zeri. Zeri dan Cinta tertawa bersama, seakan mereka sedang bernostalgia dengan kejadian yang mereka bicarakan.
Saat mereka tertawa bersama, aku tidak suka tawa itu. Bahkan, mereka terus saja bicara berdua. Aku hanya diam karena diabaikan seperti pot bunga yang ada di depan ruangan Zeri itu. Mereka menyebalkan. Mengapa mereka mengabaikanku?
"Cyntia!" Akhirnya Zeri mengajakku bicara. Aku tersenyum.
"Kau sudah makan?" Tanya Zeri padaku. Hanya itu pertanyaan yang ia buat setelah banyak kalimat yang ia keluarkan untuk Cinta?
"Sudah." Jawabku singkat.
Aku diam.
Ia menatapku, mataku menghindari tatapannya dengan cepat. Aku tak tahu mengapa sikapku menjadi seperti ini.
"Aku keluar sebentar." Zeri pun meninggalkanku dengan Cinta di ruangannya.
Entahlah, rasa canggung dan kesal datang secara bersamaan.
"Hai!" Cinta menyapaku dengan senyumannya yang sangat ramah. Aku membalas senyum itu sebisaku.
"Zeri pernah menceritakan tentangmu saat kami kuliah di Amerika." Ia membuka pembicaraan.
Apa yang ia bicarakan tentangku? Aku ingin bertanya, tetapi aku merasa malu untuk bertanya dengannya.
"Dia pernah cerita ada teman sekolahnya yang namanya hampir sama dengan namaku. Mungkin maksudnya, Cyntia dan Cinta." Jawaban yang tidak sesuai dengan harapanku.
Aku hanya membalas dengan anggukan, lagipula nama kami jelas berbeda. Apa yang sama? Zeri harus menggunakan otaknya lebih keras lagi.
"Dia juga cerita hal lain, katanya orang yang memiliki nama yang sama denganku itu sangat takut dengannya." Lanjutnya.
Ia benar. Rupanya Zeri telah menyadari itu sejak lama.
"Tapi aku sungguh tak percaya jika orang yang takut dengannya akan memperkenalkan diri sebagai calon istrinya. Sulit dipercaya jika kalian akan menjadi orang yang saling mencintai." Lanjutnya sambil tertawa pelan.
Entahlah, aku tak suka dengan tawanya itu.
"Berbicara tentang saling mencintai, apakah ada orang yang kau cintai?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku.
Hening.
Mata kami bertemu.
Ia tersenyum.
"Tentu ada, aku berniat untuk menikahinya." Jawabnya dengan santai.
Aku diam dan berusaha menghindari tatapannya.
Ia sangat menyebalkan!
Namun hari ini aku mulai menyadari satu hal. Aku sadar saat aku cemburu dengan wanita yang terlihat sempurna itu. Rasanya sangat kesal saat mataku menyaksikan mereka terus berbincang tanpa mengajakku dan saat telingaku mendengar mereka tertawa bersama.
Sepertinya laki-laki menyebalkan itu telah menemukan cara untuk membuka dan memasuki hatiku. Menyebalkan!
***
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't call it love!
Novela JuvenilSemesta rasanya tidak berpihak pada Cyntia. Tidak hanya perusahaannya yang sedang berada dibawah roda kehidupan, tetapi neneknya sakit dan terus memaksanya menikah. Orang yang ia cintai dan mencintainya pun hilang tak ada kabar. Tak ada pertolongan...