17

63 5 2
                                    

"Hai, kau benar-benar tidak hadir ke acara reuni sekolah besok? Namamu tidak ada di daftar hadir. Kau yakin tidak hadir lagi?" Tanya Kezia yang masuk ruanganku tanpa mengetuk.

"Aku tidak ikut." Jawabku dengan cepat.

"Kenapa?" Tanya Kezia.

"Kau tahu jika aku si-"

"Sibuk?" Kezia memotong perkataanku.

"Ayolah, semua orang memiliki kesibukannya masing-masing. Kita semua sibuk, aku mohon jangan gunakan alasan ini dihadapan teman SMA kita, itu menyebalkan." Balas Kezia.

Aku diam dan tak mampu membantah. Lagipula memang kata 'sibuk' adalah alibi yang selalu aku gunakan jika tidak ingin menghadiri pertemuan, terutama dengan teman sekolahku.

"Aku malas, apalagi Zeri akan hadir." Balasku jujur.

"Tunanganmu tidak datang. Namanya tidak ada dalam list." Balas Kezia. Kezia sibuk memainkan ponselnya, menggerakan ibu jarinya untuk membuka pesan dari grup wasap sekolahku. Aku tidak masuk dalam grup  itu sehingga aku tak tahu siapa yang hadir.

Hening.

"WOW! KAU HARUS TAHU!!!" Teriakan Kezia hampir membuat jantungku lepas.

Aku melirik ke arahnya, dengan sedikit tatapan kesal.

"Henry datang!"

***

Sulit dipercaya jika aku duduk di tempat ini. Aku cukup menyesal datang ke acara reuni sekolah. Entahlah, mereka sama seperti Zeri, mereka mengukir kenangan buruk dalam ingatanku. Banyak kejadian menakutkan atau menyedihkan yang dapat dilupakan, tetapi tidak untuk kasus bully. Aku yakin, semua orang yang pernah di-bully pasti tak akan melupakan orang yang menyiksanya.

Semua orang duduk sesuai dengan kelompok sepermainannya. Kezia masih berbaur dengan lainnya, aku paham karena ia salah satu orang yang banyak bicara dan mudah bergaul, akibat sifat itulah kami jadi berteman. Yang lain banyak berbincang, beberapa memamerkan kehebatannya. Beberapa lainnya pun hanya bergosip. Tempat ini ramai dan aku masih saja merasa tempat ini sepi.

"Mengapa tidak mengajakku?" Suara yang tidak asing itu sungguh mengagetkanku.

Aku menoleh ke sisi kiriku untuk memastikan pemilik suara itu.

"Zeri?!" Aku sungguh kaget saat melihatnya.

Aku membencinya saat ia tersenyum padaku. Ia bahkan duduk di sampingku tanpa berfikir panjang. Ia seharusnya tak datang! Bukankah Kezia mengatakan bahwa Zeri tidak akan datang?

"Kenapa kau datang?" Bisikku.

"Aku memang ingin datang." Balasnya dengan suara yang begitu santai, bahkan ia tak membalas dengan bisikkan.

"Apa?! Namamu tidak ada-"

"Iya, aku lupa memasukkan namaku dalam list." Balasnya.

Saat ini aku 100% menyesal datang ke tempat ini.

"Pindahlah! Ini tempat Kezia." Pintaku.

Ia mengabaikanku dan meneguk segelas jus dari atas mejaku. Sial! Itu minumanku!!!

"Maaf, aku haus."

Mungkin sudah waktunya untuk pulang.

"Zeri! Apa kabar? Bagaimana Amerika?" Saat nama itu disebut, semua orang mulai mengarahkan matanya ke arah kami.

Beberapa orang pun menghampiri kami untuk mendengar suara Zeri. Zeri pun bercerita dan sesekali mengeluarkan lelucuannya. Aku diam, aku benci keramaian ini!

"Aku tidak percaya Cyntia duduk disamping Zeri." Aku benci mendengar kalimat itu. Aku tak tahu siapa pemilik suara itu karena aku hanya mampu menundukkan kepalaku.

"Aku lebih tidak percaya Cyntia datang."

"Wow, sepertinya ia sudah menjadi orang yang sukses. Kalian ingat, dulu Cyntia hanya bisa diam di tempatnya seperti patung."

"Bahkan guru kita pernah menyangka ada patung di kelas kita."

"Iya, benar! Ia sangat pendiam."

"Zeri, bukankah dia musuhmu? Mengapa duduk disampingnya?"

"Cyntia, apakah kamu belum pernah pacaran?"

"Cyntia, kamu tidak mungkin masih menunggu Henry bukan? Aku dengar Henry tinggal di Amerika."

"Cyntia tidak mungkin menunggu Henry, kan? Lucu sekali jika ia menunggu orang lain yang mungkin saja sudah memiliki keluarga disana."

"Aku rasa Cyntia belum memiliki pacar. Jika memiliki pacar, pasti pria itu adalah pria tua yang bodoh."

"Aku harap Cyntia datang bukan karena melihat nama Henry dalam list."

Aku benci perbincangan ini. Aku sudah menduga ucapan-ucapan menyakitkan itu pasti akan datang.

"Cyn-"

"Hei!!!! Ini reuni, mengapa kalian bersikap tidak sopan." Kezia menghentikan ucapan kotor itu.

"Hei Kezia, kau berteman karena dia pernah berkorban menolongmu saja, kan?" Balasnya.

"Keterlaluan." Aku pun membuka suara.

Suasana pun hening karena aku mulai bicara dan menatap mata mereka.

Aku pun tersenyum dihadapan mereka. Aku menyembunyikan rasa takutku dan memaksa diriku untuk berani. Aku harus mengakhiri ini, jika tidak maka aku akan terus diperlakukan tak layak. Aku tidak ingin menunjukkan kelemahanku.

"Aku datang karena ingin menyapa kalian." Ungkapku, meski suaraku masih sedikit gemetar. Tak apa, aku pasti bisa menolong diriku sendiri.

"Aku bukan datang karena Henry, bahkan aku sudah lama melupakannya." Lanjutku.

"Sungguh?" Seorang wanita dihadapanku rasanya tak percaya dengan kebohonganku.

"Aku bahkan sudah bertunangan." Aku menunjukkan jari manis tangan kananku. Itu bukan cincin tunangan, melainkan milikku sendiri.

Semua orang pun merasa takjub dengan pengakuanku. Aku rasa cukup sampai disini pembelaanku. Aku tidak ingin memperkenalkan Zeri sebagai tunanganku dihadapan mereka.

"Siapa?" Balas pria yang berada di sisi kiri Zeri. Ah dia Tomi, salah satu teman dekat Henry dan Zeri.

"Dia sibuk, dia tidak-"

"Aku tidak sibuk, buktinya kita datang bersama." Zeri memotong ucapanku. Aku pun tidak bisa berkata-kata saat Zeri mulai bicara. Detik itu nafasku terasa semakin sesak.

Tangan kanannya menggenggam tangan kiriku. Bahkan ia memaksa kedua tangan yang berpegang erat itu berada di atas meja, walau hanya Zeri yang menggenggam erat tanganku.

***

Bersambung.

Don't call it love!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang