"Maaf." Ucapnya.
Mengapa ia meminta maaf?
Mungkinkah ia mengingat kejadian saat ia tak sengaja menumpahkan kuah mie instan kepadaku?
Jika diingat lagi,
Aku tak marah karena ia menumpahkan kuah mie instan kepadaku. Aku tahu jika ia tak sengaja menumpahkannya. Kezia dan Tomi juga sudah memberi penjelasan tentang kejadian itu. Lagipula, aku yang menghampiri arah tumpahan itu secara tidak sengaja karena ingin menyelamatkan Kezia. Tentu luka bakar ringan bukan alasanku begitu marah padanya.
Memang saat itu aku sangat marah padanya.
Marah karena saat itu aku hampir menyatakan perasaanku kepada Henry. Jika ia tak datang saat itu, mungkin aku sudah menyatakan perasaanku kepada Henry. Aku tidak ingin mengungkapkan perasaan sukaku kepada Henry di hadapan banyak orang, seperti rutinitas di acara 1000 lilin. Bagiku mengungkapkan perasaan di hadapan banyak orang sangat memalukan bagi yang menyatakan suka atau yang mendapatkan pernyataan itu.
Saat itu aku sangat tidak dewasa. Aku menyalahkan orang lain karena kegagalanku. Aku sangat marah karena kejadian yang tidak Zeri sengaja itu, akibat kejadian itu aku marah karena aku gagal mengatakan aku menyukai Henry dihadapan Henry.
Sehingga di hadapan teman sekolahku aku mengungkapkan rasa benciku kepada Zeri di acara 1000 lilin.
Sejak itu aku dan Zeri tak bertemu lagi, memang cukup lega karena tak ada yang mengganggu. Namun, aku merasa sedikit jahat karena mengatakan membenci Zeri di depan umum.
Ah, sudahlah!
Mengapa harus mengungkit masa lalu yang tidak menyenangkan itu?
"Sudahlah, kita datang untuk makan, kan?" Aku mengakhiri nostalgia itu.
***
Rasanya menjadi terbiasa bersamanya. Ya, sudah hampir dua bulan sejak ia bersikap baik padaku. Sudah hampir dua bulan aku melupakan rasa takutku padanya. Akhirnya aku merasa lebih dekat dengannya.
Berkat proyek perusahaanku dan Zeri, kami semakin sering bertemu. Aku sangat senang karena proyek ini berjalan lancar. Setiap minggu aku dan timku datang ke perusahaan Zeri untuk rapat.
Bahkan,
Hampir setiap hari aku menyempatkan waktuku untuk berbincang padanya, baik di kantorku atau di kantornya.
Niatku memang hanya untuk proyek, aku yakin niatku itu tak lebih.
"Restoranku sudah memakai produk makananmu. Aku juga sudah mempromosikannya, jadi lebih baik tetap memakai bintang iklan kami." Ungkap Zeri.
Ya, memang pembicaraan kami tak jauh dari sekedar bisnis. Entah mengapa perbincangan ini semakin terasa menyenangkan bagiku. Walau semakin lama kami berbincang tentang apa yang kami suka, keluhanku karena Kezia yang banyak bicara dan keluhanku tentang nenek yang selalu menjodohkan kami.
Ah,
Mungkinkah karena aku sangat mencintai pekerjaanku sehingga aku merasa terbiasa dan nyaman bersamanya?
Dan,
Aku rasa, aku tak takut lagi padanya. Aku sudah berani menatap matanya. Aku juga mulai sering mengejeknya. Aku juga sering menertawainya. Bahkan tak terhitung kami tertawa bersama. Pantas saja Zeri memiliki banyak teman, rupanya ia sangat asik diajak berbicara atau bercanda.
"Aku yakin, Kezia akan menghubungimu dan-"
"Ia akan marah karena aku terlalu lama disini." Aku memotong ucapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't call it love!
Teen FictionSemesta rasanya tidak berpihak pada Cyntia. Tidak hanya perusahaannya yang sedang berada dibawah roda kehidupan, tetapi neneknya sakit dan terus memaksanya menikah. Orang yang ia cintai dan mencintainya pun hilang tak ada kabar. Tak ada pertolongan...