14

74 4 3
                                    

Aku sungguh tidak ingin bertemu dengannya, tetapi semesta seakan tak pernah bekerja sama denganku.

"Kenapa datang kesini?" Tanyaku ketus.

"Bisnis." Zeri menjawab dengan santai.

Hah, terserahlah. Aku tak mengerti apa yang ada di dalam kepalanya.

Ia memberikan sebuah map biru tua kepadaku. Aku segera mengambil map itu padanya. Rupanya ia memberikan salah satu rincian biaya dari kerja sama perusahaan kami. Aku membaca isi dari map itu, memahaminya secara perlahan dan Zeri duduk sambil memainkan ponselnya di hadapanku.

"Lain kali kau bisa meminta bawahanmu menitipkannya kepada Kezia daripada harus membuang waktu datang kesini." Aku memberinya saran sebagai rekan bisnis.

Hening, ia tak menjawabku dan masih sibuk memainkan ponselnya.

Aku melanjutkan membaca dokumen itu. Ia tak mengeluarkan suara, tidak seperti biasanya. Aku juga sedang malas berdebat dengannya.

"Boleh tanya sesuatu?" Ia bertanya.

"Tidak." Jawabku jujur. Aku lebih suka ia diam.

"Kau membenciku atau takut denganku?" Ia berhenti memainkan ponselnya, ia pun menatapku.

Ia tetap bertanya meski aku tak izinkan.

"Saat ini benci." Ungkapku jujur, mataku masih sibuk membaca dokumen.

"Apa bedanya dengan dulu?" Ia bertanya lagi.

Aku mulai menatap matanya.

"Apakah aku harus menjawabnya? Jika kau menjadi aku, bagaimana rasanya jika kau bertemu dengan orang yang pasti membuatmu menangis." Balasku jujur.

Aku kesal karena ia tak juga mengakui kesalahannya di masa lampau.

"Itu kau saja yang terlalu cengeng." Balasnya, sambil tersenyum.

Aku menarik nafas panjang saat mendengar jawabannya yang menyalahkan orang lain atas kesalahannya.

"Kau mengejekku saat di pertemuan pertama. Lalu memandangku sinis dan menumpahkan air ke buku baruku." Aku mengingatkannya.

"Ayolah, itu hanya candaan. Aku juga tidak sengaja menumpahkan air." Balasnya. Alasan tidak diterima.

"Kau lupa, jika kau pernah mengejekku bau kotoran ayam didepan banyak orang!" Aku membentaknya.

"Aku lupa jika pernah melakukan itu, mungkin memang benar jika kau bau." Balasnya sambil menahan tawa.

"Kau pasti lupa jika kau pernah menyiramku dengan air pel." Aku melanjutkan.

Ia diam. Ya, akhirnya ia tahu kesalahannya.

"Mengejekku aneh dan bodoh hingga dijauhi banyak orang. Mengejekku bisu. Menertawaiku hanya karena aku pendiam. Apakah itu candaan?" Ungkapku.

Ia diam, ekspresinya berubah dari sebelumnya. Namun dari wajahnya tak tersirat penyesalan atau ingin berkata maaf.

"Sudahlah, intinya aku membencimu saat ini." Ungkapku.

Ia diam dan hanya menatapku kosong.

***
Sepertinya ia tidak suka dengan kedatanganku.

"Boleh tanya sesuatu?" Tanyaku.

"Tidak." Jawabnya tanpa berfikir panjang.

"Kau membenciku atau takut denganku?" Aku tetap bertanya, aku sangat ingin tahu dengan jawaban ini sejak lama.

Ia tak menatapku meski aku bersuara.

"Saat ini benci." Ungkapnya. Aku tak heran dengan jawaban itu.

"Apa bedanya dengan dulu?" Aku bertanya lagi.

Ia mulai menatap mataku.

"Apakah aku harus menjawabnya? Jika kau menjadi aku, bagaimana rasanya jika kau bertemu dengan orang yang pasti membuatmu menangis." Balasnya dengan suara yang ketus.

Aku yakin jika ia salah menilaiku.

"Itu kau saja yang terlalu cengeng." Balasku, sambil tersenyum.

Ia menarik nafas panjang saat mendengar jawabanku.

"Kau mengejekku saat di pertemuan pertama. Lalu memandangku sinis dan menumpahkan air ke buku baruku." Ia mulai mengungkit masa lalu.

"Ayolah, itu hanya candaan. Aku juga tidak sengaja menumpahkan air." Balasku dengan jujur.

"Kau lupa, jika kau pernah mengejekku bau kotoran ayam didepan banyak orang!" Ia membentakku.

"Aku lupa jika pernah melakukan itu, mungkin memang benar jika kau bau." Jawabku berbohong.

Saat itu aku tahu jika Cyntia akan bertemu dengan Henry. Aku tahu betapa antusiasnya dia saat itu. Aku senang dengan senyumannya yang penuh semangat saat itu, namun bukan senyuman yang diciptakan Henry. Ya aku akui jika aku amat kekanakan, saat itu aku mengejeknya bau seperti kotoran ayam agar ia tak bertemu Henry saat itu, aku juga tidak menyangka jika semua anak di sekolahku menertawainya.

"Kau pasti lupa jika kau pernah menyiramku dengan air pel." Lanjutnya, tatapannya mulai nanar.

Aku diam. Ya, aku pernah melakukannya karena aku tidak sengaja. Saat itu aku ingin meminta maaf tetapi ia selalu menghindariku. Lagi pula itu salahnya, mengapa ia duduk dibawah jendela di luar kelas. Sialnya itu giliranku membuang air pel saat aku piket kelas pagi.

"Mengejekku aneh dan bodoh hingga dijauhi banyak orang. Mengejekku bisu. Menertawaiku hanya karena aku pendiam. Apakah itu candaan?" Ungkapnya.

Aku diam, dari matanya aku tahu jika saat itu ia amat takut padaku.

Padahal bukan itu tujuanku. Aku memang mengejeknya karena saat itu aku bodoh. Aku tak tahu cara mendekatinya dan aku juga tak ingin Henry dekat dengannya.

"Sudahlah, intinya aku membencimu saat ini." Ungkapnya dengan suara yang lemah.

Silahkan membenciku pada akhirnya aku memang salah. Tak ada gunanya aku jelaskan.

"Silahkan benci padaku!" Ungkapku.

Aku pun beranjak dari tempat duduk karena akan pergi dari tempat ini. Setidaknya hari ini aku sudah berhasil melepas rinduku padanya.

Ia diam, menatapku seakan tak mengerti dengan sikapku.

"Pada akhirnya kau akan menjadi istriku dan harus mengubur rasa bencimu itu." Ungkapku. Aku pun melangkah.

Ia tetap diam.

Pintu ruangannya terbuka sebelum aku sampai ke tempat itu. Rupanya Kezia memasuki ruang kerja. Aku pun berpapasan dengannya.

Kezia lagi-lagi memandangku dengan tajam. Matanya seakan bicara memintaku pergi secepatnya.

Sepertinya, aku ingin bermain sebentar.

"Sayang, jangan lupa makan. Besok pagi aku akan mengantarmu. Terimakasih ciuman yang panas itu." Ucapku kepada Cyntia sebelum pergi melewati pintu.

Aku menahan tawa karena Kezia terlihat kaget bukan main, meski Cyntia terlihat semakin marah. Ekspresi marah itu lebih baik daripada ekspresi ketakutannya.

Lagi-lagi aku melakukan hal yang sama. Aku mengejek atau meledek Cyntia agar ia mendekat denganku.

Aku masih bodoh seperti dulu.

***

Bersambung.

Don't call it love!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang