"Hari ini hanya ada satu jadwal pertemuan, sengaja aku atur seperti itu agar kau dapat beristirahat dan pulang." Ucap Kezia, aku pun mengangguk pelan.
"Makan malam dengan David." Lanjut Kezia, namun ekspresi wajah Kezia tampak akan memberikan kabar buruk.
"Mungkin Zeri akan ikut karena dia akan menggantikan kakaknya setelah itu." Lanjutnya.
Aku tak ada waktu untuk bernostalgia dan mengingat masa-masa kelam bersama Zeri. Aku harus fokus kepada masa depan. Aku harus memikirkan keinginan nenek. Menikah dengan David adalah keputusan terbaik untuk bisnisku dan nenek.
"Kau tidak perlu menemaniku, aku dan David tidak hanya membicarakan tentang bisnis."
Kezia pun mengagguk, saat ini ia tidak banyak bicara karena ia tahu suasana hatiku sangat kacau.
"Bolehkah aku bertanya kepadamu? Saat ini kau adalah temanku."
"Aku memang temanmu, bodoh. Tanyakanlah!"
"Bagaimana jika aku menikah dengan David? Aku tidak mencintainya." Tanyaku.
"Tentu yang kau cintai hanya Henry." Balas Kezia.
"Bagaimana menurutmu?" Tanyaku lagi.
"Henry tidak pernah membalas pesanmu selama dua bulan. Kalian tidak bertemu selama tiga tahun, mana mungkin ia mengingatmu. Adakalanya kita harus melangkah maju. Maksudku jangan menyiksa hatimu dengan cinta yang tidak pasti." Kezia menjelaskan.
"Namun, pernikahan karena terpaksa bukan hal yang aku sarankan juga." Lanjutnya.
Aku pun menatap nomor Henry di layar ponselku, ia benar-benar tidak menghubungiku lagi.
Aku pun mengirimkan pesan singkat padanya.
'Bisakah kau ucapkan selamat jika hari pernikahanku tiba?'
***
Malam pun tiba, waktunya bertemu David dan Zeri. Walau aku harus tegar mengabaikan Zeri.Puluhan kali aku melihat layar ponselku, rupanya Henry tidak membalas pesanku. Apakah ia terlalu sibuk di Amerika?
Aku berdiri di hadapan cermin di restoran itu, restoran dimana aku bertemu dengan Zeri saat itu. Aku tidak menyangka akan mengenakan gaun yang sangat anggun ini. Baru saja aku meninggalkan salon karena harus mendandani wajahku dan menata rambutku. Sesaat aku merasa agak berlebihan. Untuk apa aku berdandan cantik seperti ini padahal belum pasti David menyetujui pertunangan itu.
"Meja atas nama David." Ucapku pada salah satu pelayan.
"Meja nomor 4, silahkan!"
Ah lagi-lagi meja itu.
Aku menghampiri meja itu. Rupanya kedua kakak beradik itu belum tiba. Aku memandangi perkemahan yang terlihat dari jendela yang tepat di sisi kananku. Aku melihat beberapa api unggun yang sangat indah. Warna warni tenda dalam kegelapan tampak menenangkan. Aku menyaksikan indahnya langit malam bertabur bintang di atas perkemahan itu lagi, sangat indah.
"Tempat itu memang indah, aku pernah berkemah di tempat itu." Ucapan yang cukup mengagetkanku. Rupanya Zeri yang berbicara, aku harus bersikap tenang.
David dan Zeri telah tiba, aku pun berdiri menyambut kedatangan mereka. Kedua pria itu tersenyum hangat kepadaku, walau aku tahu yang Zeri keluarkan hanyalah senyuman palsu.
Aku pun bersalaman dengan David.
"Ah, Cyntia ini adalah adikku. Namanya Zeri. Zeri, ini Cyntia. Semoga kalian bisa bekerja sama dengan baik nanti. Kabari saja jika adikku sulit diatur." David mengatakan sambil tersenyum.
Makanan pun tiba, kami menyantap makanan yang sangat lezat di meja kami. Aku masih sangat takut dengan Zeri, mungkin itulah alasannya aku mengabaikannya dan lebih banyak berbicara dengan David. David terlihat pria yang baik, ia tak hanya ramah padaku tetapi kepada pelayan restoran ini, ia memperlakukan semua rekan kerja, bawahan dan orang asing dengan sama. Pria sebaik dan sehebat ini cukup aneh memiliki adik seperti Zeri.
Sikap David yang membuatku semakin yakin jika keputusan kami adalah keputusan yang tepat.
Ponsel David berdering, entahlah siapa yang menghubunginya.
"Maaf permisi sebentar, ini pekerjaan." Ia pun meninggalkanku dan Zeri untuk menerima panggilan dari ponselnya.
Hening. Zeri hanya menyaksikan perkemahan melalui jendela yang tepat berada di sisi kirinya. Aku mwnyantap makanan dan berusaha agar tidak terlihat takut padanya.
"Aku memaafkanmu." Aku membuka percakapan, ia pun menoleh ke arahku.
"Tentang apa?" Sungguh? Apa ia tidak pernah merasa bersalah?
"Masa lalu kita." Balasku.
Ia tersenyum.
"Terimakasih." Balasnya.
Hening. Makananku sudah habis, aku pun meneguk minumanku sedikit. Setelah gelas aku letakan diatas meja, aku baru sadar jika ia menatapku.
"Kau tahu jika aku dan kakakmu akan dijodohkan?" Tanyaku.
"Iya." Jawabnya amat singkat.
"Apakah kakakmu tahu?" Tanyaku lagi.
"Aku rasa." Balasnya.
Aku menarik nafas panjang dan memberanikan diri untuk berbicara lebih dalam.
"Sebentar lagi kita akan menjadi partner kerja. Aku mohon kerjasamanya dan aku mohon jangan menginjak-injak harga diriku lagi." Ah, suaraku agak gemetar.
"Tentu tidak, mana mungkin aku melakukan hal buruk kepada rekan kerja." Jawabannya lebih menenangkanku.
"Kata nenekku, kakakmu belum memiliki kekasih. Aku pun memutuskan untuk menerima perjodohanku dan kakakmu." Perkataanku kini lebih jelas karena jawabannya sebelumnya cukup menebangkan.
"Lalu?" Ia bertanya dengan ketus.
"Tujuanku kesini bukanlah bertemu denganmu yang akan menggantikan kakakmu saat perusahaan bekerjasama. Tujuanku kesini untuk membicarakan perjodohan ini. Sekali lagi aku meminta tolong, bisakah kau meninggalkan kami sebentar?"
Hening. Ia menatapku sinis.
"Kau sungguh ingin menjadi kakak iparku?" Ia bertanya dengan senyum sinisnya itu.
Aku diam dan berusaha menatapnya, aku harus berani menatapnya meski aku takut.
"Jawablah dengan jujur, apakah kau masih takut denganku?" Ia mengalihkan pembicaraan.
"Untuk kali ini, aku mohon-"
"Jawablah dengan jujur, apakah kau berdandan cantik untuk bertemu dengan kakakku?" Ia bertanya lagi. Aku hanya bisa mengangguk pelan.
"Kau tidak berubah, masih murahan." Lagi-lagi perkataan Zeri yang sangat menusuk hatiku.
Aku melihat dari kejauhan jika David melangkah ke arah meja kami. Ia akan tiba. Tidak ada waktu untuk sakit hati karena perkataan Zeri, nenek dan perusahaan adalah hal yang terpenting.
"Kau bebas menghinaku. Tapi bisakah kau membiarkan aku dan David bicara berdua?" Pintaku.
"Bicarakan saja dihadapanku, aku tak peduli. Lagipula kalian telah mengabaikanku sejak awal." Balasnya.
"Bagaimana mungkin? Aku akan canggung. Ayolah, David sudah dekat!" Pintaku, kali ini suaraku lebih tegas.
"Mau aku beri tahu cara yang mudah?" Pertanyaan Zeri semakin membuatku kesal dengannya. Apakah ia tak bisa membantuku sekali saja?
Wajah Zeri pun mendekat menghampiriku sehingga aku sangat kaget. Ia dengan sengaja menempelkan bibirnya dengan bibirku. Dalam beberapa detik, ia melepaskan kecupan itu dan ia tersenyum padaku.
"Ini bantuan dariku."
Aku pun melihat David yang membatu menyaksikan kejadian itu. Apa yang harus aku lakukan?
***
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't call it love!
Teen FictionSemesta rasanya tidak berpihak pada Cyntia. Tidak hanya perusahaannya yang sedang berada dibawah roda kehidupan, tetapi neneknya sakit dan terus memaksanya menikah. Orang yang ia cintai dan mencintainya pun hilang tak ada kabar. Tak ada pertolongan...