23

58 4 5
                                    

"Kenapa rasanya berbeda?" Ucapku pada Kezia yang sedang berbaring diatas tempat tidurku. Tempat tidur yang sengaja aku beli untuk ruang kerjaku di kantor.

Kezia pun membuka matanya dan menoleh ke arahku yang sedang berbaring di atas sofa yang baru.

"Bagaimana tidak berbeda, ruang kerjamu berisi tempat tidur dan sofa. Bahkan televisi baru akan tiba beberapa jam lagi. Aku saja sangat betah di ruangan ini." Balasnya.

Namun bukan itu yang aku maksud.

Aku sudah menambahkan tempat tidur, sofa dan televisi di ruang kerjaku. Aku menata ulang tempat kerjaku agar mirip dengan ruang kerja Zeri. Seharusnya aku merasa nyaman, bukan? Mengapa perasaanku sama saja seakan tidak ada yang berbeda dengan ruang kerjaku?

"Aku mau-"

"Aku tidak setuju!" Kezia memotong perkataanku.

Baru saja aku ingin usul untuk memperluas ruang kerjaku agar bisa menambahkan ruang olahraga.

"Keuangan perusahaan baru saja membaik, aku tidak setuju jika kau menghamburkan uang agar ruang kerjamu sama seperti apartment." Lanjut Kezia sambil menutup matanya, padahal ia menikmati tempat tidur baruku.

Semua yang Kezia katakan memang ada benarnya. Lagipula aku khawatir semua usahaku akan sia-sia. Ruang kerja Zeri mungkin memang lebih nyaman jika dibandingkan dengan ruang kerjaku.

Bicara tentang Zeri,

Ini hari ke-6 sejak ia pergi ke Amerika, selama itu pula ia tidak pernah menghubungiku. Aku paham jika hubungan pertunangan kami itu hanya sebatas sandiwara, tetapi bagaimanapun seharusnya ia menghubungiku. Bahkan ia tak mengirimkan pesan satu huruf pun. Nenek beberapa kali menanyakan Zeri dan aku tak tahu harus menjawab apa. Ia menyebalkan karena pergi tanpa memberiku kabar.

Jika mengingat Zeri, aku menjadi kesal.

"Aku keluar!" Ucapku pelan kepada Kezia.

Rasanya hari ini aku memang tak bersemangat.

"Kemana?" Ia bertanya tanpa membuka matanya.

"Makan siang." Balasku singkat.

"Apa?! Bukankah kau baru saja makan denganku?" Ia bertanya setelah membuka matanya dengan lebar.

"Masih lapar." Hanya sebuah alibi saja, sejujurnya aku tak lapar.

Dia diam, menatapku dengan kening yang mengerut dan mulut terbuka. Jika aku bertenaga, aku akan mengambil foto wajah Kezia agar dapat aku gunakan untuk meledeknya.

"Wanita gila kerja yang selalu lupa makan setiap hari, kini makan siang sebanyak dua kali!!!" Balasnya dengan histeris dan  tentu aku mengabaikannya.

Aku tetap melangkah dan keluar dari ruang kerjaku. Aku membiarkan Kezia di dalam ruanganku. Aku tak tahu harus kemana tetapi yang pasti aku harus mengumpulkan semangatku. Aku tak lapar ataupun haus. Kemana aku harus mengembalikan suasana hatiku?

"Permisi, bu Cyntia. Ada seseorang yang ingin bertemu." Security menghampiriku saat aku baru saja ingin memasuki lift.

Siapa?

"Daritadi saya mencari sekertaris ibu, tetapi tidak ada. Tamu itu belum buat janji dan sekertaris ibu tidak di tempat jadi sulit untuk mengkonfirmasi. Saya telfon meja sekertaris ibu tetapi tidak diangkat. Jadi, saya minta tamunya untuk menunggu di Lobby." Lanjut security itu. Tentu sulit menghubungi sekertarisku, Kezia, ia saja sedang berbaring dengan santainya di ruang kerjaku.

"Siapa?" Tanyaku.

"Mohon maaf saya lupa namanya, bu. Seorang laki-laki, tinggi dan mungkin usianya seusia ibu." Jawaban yang semakin membuatku kebingungan.

"Terimakasih, saya temui di Lobby saja karena saya juga mau keluar." Balasku.

Aku segera memasuki lift untuk menemui orang itu. Aku menebak-nebak siapa yang akan datang. Seingatku, aku tak memiliki janji kepada siapa pun hari ini. Lagipula jarang sekali ada yang ingin menemuiku saat jam makan siang.

Lift terbuka, kemudian di kepalaku pun teringat oleh seseorang.

Orang yang selalu menemuiku di jam makan siang. Ia yang selalu mengajakku makan bersama. Mungkinkah Zeri sudah pulang dan datang menemuiku?

Aku segera melangkah dengan cepat menuju Lobby. Aku melihat seorang pria yang sibuk memainkan ponselnya. Ia berdiri membelakangiku sambil menatap papan tata tertib karyawan perusahaanku.

Langkahku semakin cepat untuk menghampirinya. Jika itu Zeri, aku akan mengagetkannya dari belakang.

Namun, semakin lama langkahku melambat.

Aku semakin ragu jika pria itu adalah Zeri.

Ah, aku mulai yakin jika pria itu bukan Zeri.

Jika ia adalah Zeri, pasti ia akan langsung mengetuk ruanganku sendiri. Security juga takkan meminta Zeri menunggu di lobby karena Zeri sudah mendapat izinku untuk masuk.

Ah, sebenarnya apa yang aku harapkan?

Langkahku terhenti saat pria itu menoleh ke arahku.

Aku sangat terkejut melihatnya, begitupun dengan pria itu. Mataku membesar dan rasanya waktu berhenti saat aku melihat Henry di hadapanku. Ia juga tersenyum saat melihatku yang sedang berdiri di dekatnya.

Ia sungguh Henry.

"Hai, apa kabar?" Sapa Henry, aku pun sedikit kikuk.

"Henry?" Aku tetap saja ragu padahal sudah jelas ia ada di hadapanku.

"Iya." Balasnya singkat dengan senyuman yang hangat.

Henry, ia adalah pria yang datang dan pergi begitu saja.

Mengapa setiap pria yang aku nanti tidak kunjung datang, melainkan orang yang hampir saja aku lupakan pasti akan datang memasuki hidupku. Hidupku lucu, bukan?

***

"Apa kabar?" Tanyaku untuk memecah kesunyian.

"Baik." Jawabnya.

"Cyntia apa kabar?"

"Baik." Balasku.

Dan,

Hening.

Aku sudah berkali-kali mengaduk es kopi tiramisu milikku dengan sedotan. Ia juga tak berhenti menatap secangkir teh yang tak ia minum sedikit pun.

Sudah lama sekali kami tak bertemu sehingga aku merasa canggung dengannya. Dulu selalu ada bahan perbincangan untuk berbincang atau bercanda, tetapi kali ini tak ada hal yang terfikirkan olehku.

Walau sebenarnya aku ingin menanyakan banyak hal tentang dirinya. Bertanya mengapa ia tak menghubungiku, mengapa tak membalas pesanku, mengapa selama ini tak memberi kabar, apa kesehariannya di Amerika dan mengapa ia kembali ke negaranya? Sayangnya, pertanyaan itu hampir terkubur dan rasanya terlalu lelah untuk menggali pertanyaan itu lagi.

"Aku dengar kau bertunangan dengan Zeri." Ucapan Henry membuatku menghentikan gerakan jariku yang sibuk mengaduk minumanku. Seketika aku membatu.

Bagaimana mungkin ia mengetahui itu semua?

Apa yang harus aku jawab?

***

Bersambung.

Don't call it love!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang