10

100 6 2
                                    

Aku sungguh tidak percaya dengan situasi yang ada di hadapanku.

"Ayah dan bunda memintaku untuk menemui nenek." Aku tahu Zeri berbohong.

Saat ini nenekku tersenyum terus menerus tanpa jeda. Ia menatap Zeri penuh bahagia. Tak ada jeda dalam perbincangan yang penuh tawa. Hingga aku diabaikan oleh mereka. Nenek terlihat sangat menyayanginya walau pertemuan pertama.

"Nenek fikir David yang akan bertemu dengan Cyntia." Nenek pun mengungkit hal itu. Aku pun mulai menatap Zeri, aku berharap ia menjelaskan dengan jujur semua kebodohannya.

Zeri pun tersenyum ke arahku. Aku benci senyuman yang cukup membuatku sedikit takut. Aku berusaha menghindari tatapan dan senyum itu. Aku tidak akan merasakan aura positif darinya, hatiku untuknya telah tertutup rapat.

"Memang, tetapi Cyntia memilihku." Jawabnya.

"Bohong!" Balasku begitu saja saat mendengar kebohongan itu. Bukankah ia sudah keterlaluan?

Nenek memukul lenganku, menatapku dengan mata yang membesar. Nenek mulai kesal karena aku mulai terkesan tidak sopan kepada tamu. Aku tidak akan bisa bersikap manis di hadapannya.

"Zeri, makan siang bersama kami, ya!" Ajak nenek dengan antusias.

"Ia sibuk." Balasku kepada nenek, tetapi diabaikan.

"Boleh." Jawab Zeri. Menyebalkan!

Nenek pun meninggalkan kami berdua. Suasana pun cukup mencekam, hening dan tanpa suara. Kami tidak menatap satu sama lain, bahkan menghindari agar mata kami tak bertemu.

Kezia telah susah payah mengatur hari ini agar aku libur bekerja. Namun, di waktu istirahatku ini harus bertemu dengannya hingga kepalaku mau pecah rasanya.

"Bukankah aku sudah berhasil?" Ia membuka perbicangan.

Aku mulai menoleh ke arahnya. Ah sial, mata kami bertemu. Aku pun menundukkan kepalaku.

"Hei, aku bicara padamu. Kau jangan berbicara dengan sendalmu!" Ia mulai berkata dengan sinis. Baiklah, dengan terpaksa aku menatapnya.

"Apa?"

"Aku berhasil membuat nenekmu bahagia. Kau sungguh tidak mempertimbangkan tawaranku?" Ia bertanya.

Ia melangkah menghampiriku, aku mengerutkan keningku karena tidak mengerti maksud dan tujuannya. Ia pun duduk di sampingku.

"Jangan lakukan hal bodoh kedua kalinya!" Bisikku.

Aku menyadari jika nenekku sedang mengawasi kami dari kejauhan.

"Aku akan bersandiwara, kau cukup berpura-pura tersenyum. Lihatlah ekspresi wajahnya. Setelah itu, aku akan menghargai semua keputusanmu." Bisiknya.

Ia pun menyentuh tangan kananku, aku berusaha menarik tanganku tetapi ia menahannya. Ia menatapku dengan tatapan yang berbeda dan ia sungguh tersenyum di hadapanku. Ia aktor yang hebat.

Aku pun menoleh ke arah nenekku.

Air mataku menetes saat aku melihat ia tersenyum sangat lebar sambil meneteskan air matanya. Beberapa kali ia menyeka air matanya.

Ah sial, semesta benar-benar tidak berpihak padaku.

"Besok kita bicarakan." Balasku.

***

Aku, Zeri dan Kezia berkumpul di apartementku. Aku tidak mungkin mengajaknya ke kantor karena aku tak ingin ada berita menyebalkan tersebar luas.

"Sungguh?! Kalian sungguh akan menikah?!" Kezia berteriak sangat keras saat aku dan Zeri duduk di hadapannya.

"Bisakah kau mengendalikan suaramu!" Balas Zeri ketus.

"Ah, sungguh! Aku sangat tidak setuju!!! Cyntia, apakah kau lupa jika ia pernah melempari wajahmu dengan susu basi dan mengguyurmu dengan tumpukkan sampah?" Kezia mengingatkanku, meski aku mengingat itu tanpa perlu diingatkan.

"Sudahlah, pertemuan kita bukanlah untuk bernostalgia." Balasku.

Aku mengeluarkan empat lembar kertas di hadapan Kezia dan Zeri. Masing-masing mengambil dua lembar kertas itu. Zeri membaca tulisan di kertas iti dengan santai, berbeda dengan Kezia yang terus menerus mengeluarkan kata-kata menggambarkan amarah saat membacanya.

"Aku ingin pernikahan ini bertahan selama satu tahun, namun perceraian diadakan saat kondisi nenek baik-baik saja. Tidak ada yang boleh mengetahui perjanjian ini. Tidak ada kontak fisik. Tidak boleh mengatur, memaki, mencela dan menghina setiap harinya. Aku tidak mengharapkan hal lain, cukup bersandiwara saja. Tak perlu menjadi suami yang baik karena aku tidak akan menyukaimu dan aku tidak ingin nenek menyayangimu." Aku menekan persyaratan kontrak dengan singkat.

Kezia membanting kertas itu ke atas meja. Ia benar-benar tak menyetujui hal itu.

"Permintaanku hanya satu, kabulkan permintaanku setiap satu kali seminggu." Balasnya.

Aku sudah malas berfikir panjang.

"Baiklah."

Tanpa berfikir panjang, kami menandatangani perjanjian diatas kertas itu.

***

Bersambung

Don't call it love!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang