Prolog

4.6K 622 37
                                    

Assalamualaikum dan selamat pagi,

Ini adalah prolog awal dari Langit Diatas Langit. 

Selamat membaca dan semoga bisa memetik hikmah dari cerita ini.

***

"Apa kakak masih mengharapkan Mbakku setelah semua ini?" gadis itu bertanya pada pria yang duduk tak jauh dari tempatnya berdiri. Sementara pria yang diajaknya bicara tak menatapnya sama sekali, melirik pun tidak. Matanya sibuk mengedar ke sekitar, kearah para tamu undangan yang sibuk bersalaman dengan tuan rumah untuk berpamitan.

Hari ini adalah hari ahad. Hari yang seharusnya menjadi hari libur, tapi disulap oleh sebuah keluarga kecil menjadi acara aqiqah ketiga anak kembar mereka. Kebahagiaan terpancar begitu besar. Tak akan bisa ditampik oleh siapapun juga, termasuk oleh seorang gadis dan pria yang menatap mereka dari kejauhan.

Bukan rahasia lagi jika pria itu begitu mencintai wanita yang sudah bahagia dengan suami dan ketiga anaknya itu. Semua orang tahu termasuk si wanita yang dikagumi, tapi wanita itu malah memilih pria lain sebagai pelabuhan cintanya, meninggalkan pria itu hanya dengan seutas doa semoga ia menemukan kebahagiaan dengan gadis lain.

Ironis memang, tapi begitulah adanya.

"Lihat kak, nggak akan ada ruang lagi untuk kakak disana. Kenapa masih saja mengharapkan sesuatu yang mustahil?"

Pria itu mengerjap kemudian melirik pada gadis disampingnya. Mata bening yang sudah ia kenali sejak balita itu menatapnya datar, nyaris tak beriak. Tapi meskipun begitu, ia tahu bahwa gadis itu menyembunyikan kesedihan jauh di dalam hatinya. Bagaimana lagi? Ia tak bisa memberikan jawaban yang diinginkan gadis itu karena dalam hatinya memang bukan nama gadis itu yang tertulis.

"Aku yang selama ini menunggu kakak. Menyelipkan nama kakak di setiap doa-doaku. Tapi kenapa ..."

"Kakak minta maaf. Sampai kapanpun kakak nggak akan pernah bisa menganggapmu lebih dari seorang adik," pria itu mengusap muka dengan gusar. Ia memalingkan wajah, menolak untuk melihat lebih banyak nestapa di netra abu-abu itu karena ulahnya. "Mungkin kita memang tidak berjodoh. Sesakit apapun itu, mata kakak hanya ingin menatap dia. Hanya dia, dan selalu saja dia ..." gumamnya lagi.

Gadis itu menatap kearah pandang pria itu. Perasaannya berkecamuk. Sakit, sedih dan kecewa berbaur menjadi satu. Apakah memang semua pria di dunia ini menyukai tipe perempuan seperti kakaknya? Cantik, lembut, berbudi halus, dan selalu bisa menyenangkan hati orang tua. Karena jika memang begitu, tipe perempuan yang menyukai kebebasan seperti dirinya tak akan pernah dipilih.

Gadis itu mengangguk paham. Ia menatap pria itu dengan hati yakin dan keteguhan penuh. Mungkin inilah saatnya ia menyerah dengan semua perasaan cinta tak berbalas ini. Ia menolak untuk menjadi gadis bodoh lebih lama lagi karena baginya, memperjuangkan hal yang sia-sia sama saja berkubang dalam kebodohan yang disengaja.

"Baiklah kalau gitu, aku nggak akan maksa kakak lagi. Kakak mungkin benar, kita memang nggak berjodoh." Kata gadis itu. Ia menatap pria di depannya lekat-lekat, seolah inilah terakhir kali ia melihat sosok itu. "Mulai hari ini, aku lepaskan kakak dari harapan dan doa-doaku. Tapi aku tetap berdoa, semoga Allah mempertemukan kakak dengan perempuan yang baik dan bisa semakin mendekatkan kakak pada Allah. Jangan terlalu lama berkubang dengan cinta yang memang bukan untuk kita. Seperti halnya aku, kakak juga harus belajar mengikhlaskan."

Pria itu tertegun. Alih-alih membalas doanya dengan kata 'Aamiin', ia malah menatap gadis itu dengan perasaan yang sulit untuk diartikan.

Gadis di depannya ini cantik. Sangat cantik dan tentu saja baik. Tapi ia tak tahu mengapa hatinya tak bisa mencintai meskipun gadis itu sudah mengikrarkan cinta padanya berkali-kali. Kalau tidak salah, gadis ini sudah mengejar-ngejar dirinya sejak masih kecil. Dia masih ingat gadis itu pernah memintanya menjadi suaminya, dan ia hanya membalas ucapan bocah itu dengan elusan di kepalanya yang berbalut kerudung.

Lalu, perasaan apa ini? Dia yakin tak mencintai Wiya, tapi mendengar gadis itu ingin melepaskannya, ia seperti ... tak terima. Ia bahkan tak mampu membalas salam gadis itu. Ada rasa sesak yang tak mampu dijelaskan saat melihat gadis itu melangkah semakin menjauhinya untuk kembali ke dalam rumah.

Wiya menahan mati-matian agar airmatanya tak tumpah dengan memalukan di hadapan seluruh anggota keluarganya. Kebahagiaan yang menguar nyatanya tak sanggup membuatnya tersenyum karena saat ini hatinya dipatahkan dengan paksa. Ia tak pernah tahu hingga hari ini ... bahwa mencintai seseorang berarti harus sanggup menanggung kekecewaan sebesar ini. Benarlah kata Sayyidina Ali, berharap kepada manusia hanya akan berakhir pada kekecewaan, karena sifat naas adalah makhluk yang tak pernah lepas dari salah dan lalai. Milik Allah-lah segala kesempurnaan.

Patah hati itu membuyarkan fokusnya. Kebodohannya-lah karena mencintai manusia terlalu dalam, tapi ia tak bisa menolak saat ia terjerumus semakin parah pada perasaannya sendiri. Ia butuh pegangan, ia butuh sandaran, butuh ketenangan. Dan sepertinya dia tahu dimana tempat yang bisa memberikannya semua itu.

Maka, dua hari setelah acara berakhir, ia segera mengemasi beberapa pakaiannya tanpa sepengetahuan orang rumah. Wiya menuju ruang kerja ayahnya dengan mantap. Ditatapnya mata sang ayah dengan keyakinan penuh dan berujar,

"Ayah, I need holiday..."


_______________________________

Insya Allah cerita ini akan resmi dipublikasikan pada tanggal 10-10-2021 (bisa lebih cepat dari jadwal). Cerita akan dipublish seminggu sekali setiap Selasa (pagi, siang, sore atau malam).

Semangat bersabar!

Langit Diatas LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang