Assalamualaikum dan selamat malam!
Apa kabar semuanya? Semoga semua sehat yaa...
Wiya dan Langit update nih,
Selamat membaca ya? Jangan lupa vote dan komen!
***
Pesantren Al-Bina berdiri diatas seperempat tanah desa Salam. Kononnya, tanah seluas lebih dari lima belas hektar itu adalah wakaf dari salah seorang dermawan yang hingga saat ini tak diketahui namanya. Urutan letak bangunan setelah bertemu simpang tiga desa Salam yaitu: Warung grosir & eceran Pak Pulungan, klinik Salam, kemudian Pesantren Al-Bina.
Wiya mengganti celana olahraganya dengan celana kulot hitam. Hari ini hari jum'at, hari libur mingguan pesantren. Sebagai tenaga bantu yang tinggal di pesantren, jadwalnya hari ini adalah menemani Zahara—salah seorang ustadzah pengasuhan sekaligus teman sekamarnya—untuk berbelanja keperluan dapur santri dan menemani Rahman berbelanja isi koperasi putri ke kota. Yang terakhir ini sebenarnya bukanlah tugasnya. Tapi berhubung lelaki selalu kesulitan memilih barang perempuan dengan kualitas bagus, akhirnya Wiya dan Zahara-lah yang diutus untuk ikut serta.
Wiya menuruni tangga dan menyusuri hall besar asrama putri 'Ainus-Syams dengan senyum lebar. Beberapa orang santri yang masih memakai baju olahraga tampak duduk santai dan bergerombol. Sepertinya sudah selesai gotong-royong. Ada yang membaca buku, muroja'ah Al-Qur'an, menghafal muthola'ah*, ataupun berbincang-bincang menggunakan bahasa Inggris. Pesantren menerapkan sistem two week exchange, dimana setiap dua jum'at sekali para santri mengganti bahasa harian mereka dengan bahasa Inggris atau Arab. Sistem yang konsisten seperti ini membuat para santri lebih mahir dan fasih di kedua bahasa tersebut. Tak ada kebingungan tentang bahasa apa yang dipakai minggu ini karena di setiap dinding asrama dituliskan pemberitahuan akan bahasa harian saat ini seperti 'Use your English, sister!' (pergunakan English-mu) atau 'Al-usbuu' bitakallamil 'Araby!' (minggu berbahasa Arab).
"Mbak Zahara!" Wiya melambaikan tangan begitu melihat motor Zahara dan pick-up milik pesantren sudah menunggunya di depan asrama. Dengan cepat, ia memakai sepatu kets yang dibawanya dari kamar.
Wiya naik ke boncengan setelah mengencangkan sabuk helm. Motor berjalan pelan keluar area pesantren diiringi oleh pick-up, melewati deretan kelas-kelas santri putri, kantor OSPM*, KMI* (Kuliyyatul Mu'allimiin Al-Islamiyyah) serta kantor pusat pengasuhan santri. Sepanjang perjalanan keluar pesantren yang didominasi dengan pohon-pohon hijau dan bangunan-bangunan megah berwarna biru, untuk ke-ratusan kalinya Wiya tetap merasa takjub. Pesantren yang dijuluki oleh para santri sebagai 'Penjara Biru' ini begitu asri, memanjakan mata.
Begitu motor berhenti di warung Pak Pulungan, Wiya turun dari boncengan sementara Zahara dan Rahman menunggunya di tepi jalan. Setelah menyerahkan sederet daftar belanja mingguan pada Udi—salah seorang pekerja disana, Wiya kembali duduk di jok belakang. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke kecamatan bersama-sama.
Perjalanan ke kecamatan agak butuh sedikit perjuangan terutama saat jalan basah karena hujan seperti saat ini. Beberapa jalan yang berlubang menjadi becek dan tergenang air sehingga kecepatan kendaraan-pun harus dikurangi. Wiya menghela napas panjang, sepertinya waktu satu jam untuk sampai ke kecamatan harus molor menjadi satu setengah jam.
"WOY! BISA BAWA MOBIL GAK SIH?! LO MAU GUE SUMPAHIN BUTA, HAH??"
Baru saja Wiya membahas tentang jalanan, teriakan plus makian terdengar dari arah kanannya. Ia langsung terperanjat dan beristighfar begitu melihat seorang pria bertopi hitam dan bermasker di dalam becak berteriak-teriak kearah pick-up yang dikendarai Rahman. Rahman ikut berteriak meminta maaf, tapi becak yang membawa pria itu beserta temannya terus berlalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Diatas Langit
Espiritual-A very special sequel of Assalamualaikum Almeera (almost 5M readers on wattpad)- ____________________________ Sky' merasa dirinya jatuh saat Le-Roi, grup band yang dibangunnya dengan penuh perjuangan balik menusuknya dari belakang. Bintang gemerlap...