14 - Smell Like Heaven

1.7K 346 30
                                    

Assalamualaikum dan selamat pagi...

Wiya Langit update nih, selamat membaca yaa.

Jangan lupa vote dan komen :)

***

Gedung mungil klinik Salam tak terletak di dalam kawasan pesantren, melainkan diluar gerbangnya. Itu sebabnya klinik tersebut tak disematkan dengan nama pesantren Al-Bina, melainkan desa 'Salam' meskipun yang menaunginya tetaplah pesantren. Hal itu dikarenakan pimpinan pesantren yang lama tak ingin para warga desa merasa sungkan untuk berobat karena beranggapan bahwa hanya santriwan-santriwati lah yang berhak mendapatkan pengobatan disana.

Klinik tersebut berdiri sekitar sepuluh tahun yang lalu, di akhir masa jabatan Kyai Yrham Fakhruddin Abdul Hamid. Rencana pendirian klinik tercetus lewat rapat dewan senior dan para tenaga pengajar mengingat tidak efisiennya pengobatan untuk para santri yang sakit. Sebelum ada klinik, pesantren hanya menyediakan musa'adah* di setiap gedung asrama, dengan tenaga medis berupa para santri tingkat akhir dan obat-obatan seadanya. Kyai Fakhruddin sadar bahwa kesehatan para santri harus diperhatikan sebaik mungkin.

"AAARRGGGHH!!!"

Wiya hanya melirik sekilas mendengar teriakan pilu lelaki yang terduduk diatas brankar beralaskan perlak hitam di depannya. Sosok dengan rambut abu-abu lembab dan pakaian hampir kering itu sudah berada disana lebih dari setengah jam, mendapat perawatan dari dokter Baiduri. Selembar selimut biru tersampir di tubuh besarnya. Wiya membantu menyelesaikan pekerjaan dokter Baiduri membebat lengannya yang terkilir sementara sang dokter sendiri menjahit luka robek di dahinya. Pak Pulungan dan putranya yang bernama Yada menunggui dengan wajah cemas di ujung brankar. Yang membuat telinga Wiya berdenging bukanlah teriakan kesakitannya, melainkan panggilan lelaki itu pada namanya.

"Aww! Wiyaaa, sakit banget Ya. Tangan gue kayak mau putus, trus kepala gue pusing. Huhuhu...!"

Wiya tak mengerti mengapa lelaki itu mengadu padanya seolah mereka akrab saja. Ia terus bergeming sembari menyelesaikan pekerjaannya. Untung saja klinik sedang sepi. Ningsih dan Dini juga belum datang karena santriwan-santriwati kelas akhir punya agenda rapat dengan KMI terkait persiapan perkemahan akbar yang ribet dan berbelit-belit.

"Awh, be gentle, Ya! Kayak mbak dokter ini dong. Pake perasaan gitu."

Wiya tak menjawab. Tapi dalam hati ia mencibir keras sambil menatap lelaki tersebut atas-bawah. Sekilas cederanya terlihat serius, tapi melihat postur tubuh dan lengannya yang berotot seperti orang kelebihan hormon, Wiya tak yakin sakit yang dirasakannya separah itu.

"Nggak usah teriak-teriak! Malu sama badan!" Pak Pulungan menggeplak keras kaki lelaki itu. Si empunya langsung mengaduh kembali.

"Sakit, Pak!"

"Salah siapa kamu manjat-manjat pohon mangga begitu, heh? Lain kali panjat genteng joglo sekalian biar pas jatuh otakmu jadi waras juga." Pak Pulungan mendelik geram. "Da, kamu urus Langit sampai selesai. Bapak balik ke warung dulu. Lukanya nggak parah kan, Bu Dokter? Nggak perlu dibawa ke rumah sakit besar kan?"

Dokter Baiduri tersenyum. "Nggak perlu, Pak. Insya Allah nggak sampai dua minggu juga sembuh."

Pak Pulungan kemudian berlalu. Wiya tak mengerti entah apa yang berada di pikiran lelaki bernama Langit ini sampai nekat berbuat bodoh dengan memanjat pohon. Apakah terlalu lama jadi orang kota membuat jiwa-jiwa norak di dirinya bangkit seketika saat tinggal di desa? Atau jangan-jangan selama tinggal di Jakarta tak pernah makan buah mangga sehingga ketika melihat ada buah mangga segar di kampung langsung berubah jadi Tarzan? Entahlah.

Wiya meringis sendiri waktu mendengar bunyi debuman dan teriakan histeris tadi. Lalu tak lama kemudian, Pak Pulungan dan anaknya membawa lelaki berambut abu-abu ini ke klinik dalam keadaan lengan terkilir, darah merembesi wajah dan tubuh basah kuyup. Sungguh mengenaskan sekali!

Langit Diatas LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang