19 - Prasangka Langit Dan Permintaan Tolong

3.2K 322 55
                                    

Assalamualaikum dan selamat pagi...

Langit Wiya Update lagi nih!

Selamat membaca yaa, jangan lupa vote and komen!

***

Waktu berlalu. Seminggu sudah terlewati sejak pembicaraan di teras. Sejak hari itu, semua orang di klinik dibuat repot dengan kemunculan Sky' yang datang hampir setiap hari. Alasannya beragam, minta cek kondisi tangannya, ganti perban, minta obat, jalan-jalan...

Wiya sebenarnya tak mau ambil pusing apa saja yang diperbuat lelaki bernama Langit itu selagi tak mengganggu ketentramannya. Dirinya juga tak sepenuhnya bertugas di klinik selama duapuluh empat jam sehingga dikiranya intensitas pertemuannya dengan si Langit tak begitu sering. Tapi siapa sangka pria itu seperti sengaja memilih saat-saat dimana Wiya sedang berada di klinik untuk berkunjung dan berbuat onar? Dokter Baiduri dan Dini sampai angkat tangan setiap kali menghadapi lelaki rewel itu. Mereka lebih memilih untuk berpura-pura sibuk mengecek pasien lain atau keluar pergi entah kemana daripada mendengar celotehan Langit dengan mulut besarnya. Hanya Ningsih dan Wiya—yang dipaksa— untuk tahan mengahadapi pria itu.

"Mas Langit itu ganteng ya, Mbak? Muka segitu mah, ndak jadi penyanyi juga ndak papa. Bisa jadi artis. Main film pasti laku."

Wiya mengangkat alis, mual sendiri mendengar pujian yang dituturkan Ningsih. Ia heran, apa yang dilihat Ningsih dari Langit hingga gadis itu begitu mengidolakannya? Apa karena eskrim dan sebungkus besar jajanan yang dibawa lelaki itu setiap kali berkunjung? Dan satu lagi, si Langit itu guitarist, bukan penyanyi!

"Kalau cuma ganteng buat apa, Ning? Ganteng doang gak bisa bikin kenyang. Gak bisa ngejamin masuk syurga juga. Sahabat Bilal Bin Rabah yang berkulit hitam memiliki tempat mulia di syurga, sedangkan Abu Jahal yang kaya-raya dan perkasa terpanggang di kerak neraka." Wiya menjawab diplomatis. Ia dan Ningsih sedang duduk-duduk santai di ayunan samping klinik setelah shalat zhuhur sambil menunggu Dini yang mengambil makanan dari mathbah. Alunan nasyid Syekh Misyari Rasyid Alafasy terdengar dari speaker pesantren. Wiya mendengarkannya sembari membaca buku sementara Ningsih bermain game di ponsel milik Wiya. Gadis itu seperti tak peduli dengan ujian tengah semester yang akan tiba sebentar lagi.

"Perumpamaannya ndak perlu Abu Jahal juga kali, Mbak. Mas Langit ndak separah itu. Wong aku sempat tanya kemarin, katanya dia Muslim kok. Ya kan seenggaknya bisa buat cuci mata, gitu lho. Oh ya, Mbak Wiya mau tahu, orang sekampung pada heboh ngegosipin Mas Langit loh, Mbak. Orang-orang udah pada tahu kalau di kampung ini ada artis nyasar. Hihi. Rumah Pak Pulungan sampai rame didatangi warga kemarin sore, katanya penasaran ngeliat muka artis ibukota itu aslinya kayak apa, gitu."

"Oh," Wiya merespon acuh tak acuh. Pantas saja pria angkuh itu tak menunjukkan wajah kemarin sore. Ternyata sibuk gelar jumpa fans. Baguslah, dunia menjadi lebih aman dan tentram rasanya.

Wiya melanjutkan kegiatannya. Entah berapa menit terlewati hingga Ningsih kembali mencolek lengannya.

"Kenapa lagi?"

"Itu, anu ... aku liat-liat, kayaknya ... Mas Langit itu naksir Mbak Wiya, deh."

Wiya melotot. "Kamu itu kalau ngomong nggak usah sembarangan deh! Kalau orang dengar bisa salah paham, loh!"

"Aku ngomong bener, Mbak. Liat aja sikap Mas Langit itu kalo kesini. Walaupun mulutnya setiap kali ngomong pedas ngalahin cabe rawit, tapi sama Mbak Wiya dia kayak lebih kalem gitu. Natap Mbak juga dalem banget. Masa Mbak nggak ngeh sih?"

Wiya tak ingin menanggapi. Yang dikatakan Ningsih jelas hanya sebuah asumsi bodoh yang tak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. "Sok-sokan ngerti kamu! Ngeh nggak ngeh itu nggak penting, sebab yang kamu bilang itu nggak mungkin. Kita lagi di pesantren ini, bisa-bisa aku disidang gara-gara ucapanmu itu! Kamu mau aku didepak dari sini gara-gara masalah kayak gitu? Please deh!"

Langit Diatas LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang