10. Sebuah Janji

8 1 0
                                    

.....

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

.....

Tamara masih terdiam. Ia masih memikirkan perkataan Angkasa. Sedetik kemudian cewek itu tiba-tiba tertunduk. Bahunya bergetar. Tangisannya begitu lirih. Ia membungkam mulutnya takut bersuara.

Dengan perlahan Tamara berjalan menuju kearah kamarnya. Ia masuk dan tiba-tiba terduduk disamping kasurnya. Ia tak bisa apa-apa sekarang, selain memeluk lututnya dan menyembunyikan wajahnya. Sejak tadi bahunya terus bergetar tampa henti. tak ada suara dari ruangannya. Tamara benar-benar berhasil menyembunyikan rasa sakitnya daripada orang.

Ia menangis dan terus menangis entah bagaimana ia harus menyikapi dirinya sendiri. Bukannya ia sudah meminta maaf dengan Amiraa dan semua orang yang pernah dibulinya? Lalu kenapa sekarang masa lalu buruknya harus terungkit kembali.

Tamara terus terisak. Ia terus membayangkan betapa buruknya ia karena menghancurkan orang lain. Tentang bagaimana Tamara dulu memperbudak orang lain, tentang bagaimana Tamara dulu menyiksa anak orang lain dan tentang bagaimana dulu ia memperlakukan manusia lain layaknya binatang.

Tamara mendongak. Tangisannya begitu pilu. Ingin rasanya ia berteriak. Berteriak sekeras-kerasnya.

"AMPUNI HAMBA YA ALLAH!! HIKS".

"AMPUNI HAMBA YANG BERGELIMANG DOSA"

"HAMBA MOHON YA ALLAH HIKS"

Tamara benar-benar tersiksa dengan keadaannya sekarang. Sejak tadi ia terus berikstigfar tapi tetap saja. Rasa bersalah yang dulu ada kini muncul kembali. Dan rasanya begitu sakit. Rasanya ia bahkan tak bisa memaafkan dirinya sendiri.

Bolehkah ia melakukan pembelaan? Ia juga manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Tapi tidak. ia salah

Seharusnya dari dulu ia sadar bahwa apa yang dikatakan Angkasa memanglah benar. Ia memang perempuan iblis yang tidak pantas untuk diampuni. Ia pantas di sebut sebagai perempuan iblis.

"Hamba tau klo hamba nggak pantas buat diampuni tapi hamba mohon ya Allah. Hamba mohon ampuni hamba hiks!"

"Ampuni hamba" liihnya.

Meski dadanya terasa sakit dan sesak ia tak perduli. Apa yang ia rasakan tidak sebanding dengan pembuliannya dulu.

Tamara lagi lagi terisak. Bayang-bayang pembulian yang dulu ia lakukan terus terputar diigatannya termasuk perkataan Angkasa yang sukses membuatnya hampir gila. Meskipun begitu ia tak bisa menyalahkan Angkasa karena kesalahannya dulu benar-benar fatal. Jika ada yang harus disalahkan makan Tamara lah yang pantas.

Namun disisi lain tanpa Tamara sadari sejak tadi ada Sabil yang menyaksikan segalanya. Bahkan Tamara bertemu Angkasa setelah dari kamar Pandu yang berseblahan dengan kamar Tamara. Sabil yang awalnya hanya berniat untuk menemui Tamara terpaksa menyaksikan hal yang juga ikut membuatnya merasa sesak. Tamara sudah ia anggap sebagai kakaknya kandungnya sendiri. Dimana seorang adik juga akan merasa sakit saat kakaknya sakit. Ia tak pernah menyangka akan melihat Tamara dibentak seperti itu oleh Angkasa. Saat itu juga ingin sekali ia berlari dan memeluk kakaknya itu. Jika ia mampu maka ia akan melindungi Tamara dan tak akan membiarkannya merasa sedih. Tapi apa dayanya, ia hanyalah seorang anak laki-laki yang masih belum bisa apa-apa.

Dengan pintu yang tak tertutup Sabil bisa melihat Tamara yang menangis sendiri dan memohon ampun kepada Allah.

Dengan perlahan Sabil berjalan mendekati Tamara. Ia juga ikut menangis setelah melihat segalanya. Termasuk fakta dan perkataan kasar Angkasa. Untuk sebatas anak kecil jangan kira bahwa ia tak bisa mengerti. Keadaan seperti itu sudah sering ia liat dulu.

Bismillah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang