13. Tentang Angkasa

4 0 0
                                    

tepat pukul dua lewat tiga puluh menit dini hari, Dirumahnya angkasa berdiri di depan sebuah ruangan dengan jas yang masih terpasang rapi di tubuhnya. dengan suasanya yang beitu besar namun sunyi itu  ia terdiam lalu menatap pintu ruangan itu dengan sangat lama. angkasa tersenyum getir mengingat beberapa saat lalu saat ia tertidur di kantornya sebelum telpon dari pandu berhasil membuatnya terdiam hingga saat ini. 

Apa lagi saat mendengar kabar tentang ibu Sabil yang berpulang. ingatannya kembali berputar seperti film saat ibunya meninggal. Kabar duku itu berhasil mengingatkannya pada luka yang masih berbekas hingga saat ini. 

Dengan perlahan pria bertubuh tegap itu membuka pintu dengan perlahan. Tangannya bergerak menyalakan lampu di ruangan itu. Tak ada yang berubah dari ruangan itu, masih sama seperti sebelumnya. saat lampu sukses menerangi seluruh ruang yang cukup besar itu mata Angkasa langsung tertuju pada dua bingkai foto yang begitu besar. Ada dua bingkai yang msing masing saling bedekatan. 

mata menatap sosok laki-laki paru bayang yang bisa Angkasa tebak tingginya hampir sama dengannya. Ia tersenyum kecil melihat wajah ayahnya yang terlihat begitu tegas dan damai. Namun sayangnya, saat ini ia hanya bisa melihat wajah ayahnya lewat sebuah foto.  

mata angkasa beralih menatap sosok wanita yang begitu cantik dengan senyum indahnya. namun sama seperti ayahnya, angkasa hanya bisa melihat foto wanita itu lewat sebuah foto. Tiba-tiba saja ia teringat akan kata-kata Ayahnya beberapa hari sebelum beliau berpulang.

"angkasa klo ayah nggak ada, ayah titip keluarga kecil kita nak" 

yah itulah perkataan yang sukses membuatnya merasa terhantui hingga saat ini.

sekali lagi angkasa tersenyum, namun matanya berkata lain, matanya justru mengeluarkan setetes air mata.

brukk

angkasa tiba tiba tersungkur kdepan, ia tertunduk entahlah rasanya saat ini sangat sulit untuk mempertahannya tubuhnya. matanya memanas. anggaplah ia sanagat cengeng tapi itulah yang saat ini ia rasakan, perasaan sedih dan kecewa. kecewah pada dirinya sendiri.

"maaf, maafin angkasa Ayah" lirihnya pelan.

"MAAFIN ANGKASA YANG NGGAK BISA JAGAIN KELUARGA KITA!, MAAFIN ANGKASA YANG UDAH LANGGAR JANJI! MAAFIN ANGKASA YANG NGGAK BISA JANGAIN AMANAH AYAH, MAAFIN ANGKASA YANG UDAH GAGAL GANTIIN AYAH HIKS"

"MAAFIN ANGKASA AYAH, GARA-GARA ANGKASA BUNDA UDAH PERGI SECEPAT INI HIKS! MAAFIN ANGKASA" teriak cowok itu frustasi. mencengkram kuat kepalanya.

ARRGH!

"BUNDA MAAFIN ANGKASA YANG NGGAK BISA JAGAIN BUNDA! MAAF ANGKASA NGGAK BEGUNA!"

ingatan Angakasa tiba tiba bergerak ke tiga tahun lalu, yaitu hari dimana semua rasa bersalah ini dimulai

flassback on;

Angkasa melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, ia sudah tidak perduli lagi dengan apapun yang ada di sekitarnya, saat ini ia sedang di selimuti dengan rasa marah.

ia masih ingat dengan ucapan Tamara yang berniat mengakhiri hubungan mereka. entahlah ia merasa begitu marah padahal ia sendiri sadar bahwa tak seharusnya ia percayainya. mungkin karena angkasa sudah berhasil mencintai Tamara dengan tulus meski dengan segala sifat buruk Tamara yang tak ia sukai. dan entah mengapa saat tamara mengatakan memutuskan untuk hijrah, takdir seakan memisahkan mereka dengan jarak yang tak akan Angkasa hitung.

namun....

brukkk!!!.

karena pikirannya yang terus berkecambuk, Angkasa tak menyadari bahwa ia telah menerobos lampu merah dan tak tak sengaja menabrak sebuah mobil yang mengarah lurus dari seblas kiri angkasa yang ternyata sedang lampu hijau.

angkasa terdiam tak berkutik, rasa sakit menyelimuti seluruh tubuhnya saat ini pandangannya buram, hanya ada suara riuh orang-orang yang bergegas menyelamatkan nya dan yah, tak lupa dengan orang yang ada di mobil yang tak sengaja ia tabrak.

namun dengan perlahan kesadaran angkasa mulai menghilang, dan akhirnya angkasa menurutp matanya dengan tidak sadarkan diri. 

namun disisi lain mobil yang angkasa tabrak terseret dan menggelinding jauh. angkasa bisa mendengar gesekannya.

besoknya saat angkasa terbangun ia hanya mendapati dirinya seorang diri di sebuah ruangan yang ia yakini ia sedang berada di rumah sakit, dengan  perlahan ia berusaha bergerak meski kepalanya yang telah dibaluti terasa sakit ditambah dengan juga rasa sakit di sekujur tubuhnya.

rupanya ia tak mengalami kecelakaan yang cukup parah berbeda dengan orang yang ada di mobil yang ia tabrak. cowok itu bergegas untuk melihat bagaimana kondisi korban itu, ia harus menyelesaikan masalahnya sekarang dan pulang, ia tahu keluarganya akan cemas karena ia belum pulang semalaman.

angkasa mengerutkan keningnya saat melihat ada bendera putih yang tepasang tepat di depan rumahnya. pikiran buruk mulai menghantui pikirannya, dengan tergesa-gesa ia berlari masuk masuk kerumahnya, ada firasat buruk menghantui pikirannya.

deg!

kedua bola mata angkasa berhasil mendapati jenazah yang kini tertutup dengan kain didalam rumahnya, jantungnya berdegup kencang berusaha menghilangkan pemikiran burukya, ia menatap seluruh keluarganya yang sedang membaca yasin, termasuk jihan adiknya sendiri yang tenagh terdiam menatap kosong jenazah yang ada di depannya.

"Dek ibu mana?" tanya cowok itu pelan, ia berusaha untuk tetap tenang sejak tadi.

"terus ini siapa yang meninggal?" tanyanya sekali lagi. 

Jihan yang sejak tadi terus menatap didepannya itu masih tak berkutik, air matanya jatuh mendengar petanyaan kakaknya. dengan perlahan ia menatap kakaknya dengan sedih.

"JIHAN IBU MANA?" ujarnya penuh tekanan.

ia menunduk, ia tak sanggup menatap kakaknya, "ibu udah pergi kak hiks! ibu udah pergi!"

deg!

"IBUUU!" teriak angkasa langsung berlari memeluk ibunya yang sudah tak bernyawa lagi.

flassback of

itulah saat saat dimana Angkasa kehilangan seluruh kehidupannaya. saat dimana semua penyesalan itu berawal. anglasa meyesal karena tak berada di samping wanita itu disaat saat terakhirnya. angkasa menyesal karena memilih untuk pergi menemui tamara dari pada menemani ibunya yang sedang sakit. jika ia tahu ibnya kan meninggal secepat itu maka ia akan berjanji akan menghabiskan seluruh waktunya untuk wanita itu.

angkasa menangis tersedu-sedu mengingat kejadian menyakitkan itu. Apalagi mengingat kenyataan bahwa saat itu dirinya lebih memilih menemui Tamara dari pada ibunya sendiri.

dengan perlahan pria itu bangkit. Apapun yang terjadi, sekarang semua itu hanyalah sebuah penyesalan yang tak bisa ia kembalikan seperti semula. 

Angkasa bergerak untuk mengambilair wudhu, ia ingin melakukan sholat Tahajjut . Setelah mengambil air wudhu cowok itu membentangkan sajadahnya yang ia ambil dari salah satu lemari yang ada di ruangan itu. 

Entahlah, ia merasa sangat tak berdaya sekarang dirinya dipenuhi dengan penyesalan dan rasa sakit. Ia benar-benar membutuhkan ketenangan da kedamaian. Angkasa perlu menceritakan segala rasa sakitnya pada yang kuasa meski ia tahu Allah jauh lebih dulu tahu semua apa yang terjadi padanya.



Bismillah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang