Malam tiba. Derla lelah setelah perdebatan tidak penting di siang menjelang sore tadi. Tak ada yang memihaknya tidak ada yang berada di belakangnya tak ada tameng yang melindunginya. Satu-satunya orang yang seharusnya mendengarkan dan berada di pihaknya memilih untuk mendengar orang lain.
Ayah, Bi Ike, mereka lebih memilih meladeni dan memperhatikan Fio dibanding dirinya. Bahkan ketika Derla sendiri kesusahan memindahkan barangnya yang begitu banyak ke kamar almarhum Kakaknya tidak ada satupun yang membantu.
Separah apa sih Fio? Luka sedikit di lutut sampai nggak bisa jalan. Jatuh dari mana dia? Separah itu kah.
Derla membuka pintunya berniat turun karena ini jadwalnya makan malam. Semua serba terpaksa karena jika Derla tidak turun sekarang maka tidak ada yang peduli dirinya akan makan atau tidak. Tidak ada yang memperhatikan selain dirinya sendiri.
Klek
Derla mengunci pintu kamarnya. "Bi," panggil Derla kepada Bi Ike yang kebetulan melintas di hadapannya dengan membawa keranjang baju di tangannya. Itu membuat Bi Ike berbalik badan mengarah padanya.
"Ada apa?" tanyanya.
"Bi Ike pernah bilang bersedia dengar cerita Derla, kan? Derla pengin cerita bisa?"
Bi Ike nampak berpikir sejenak untuk menjawab. Ia sangat ingat betul hari itu dimana ia tidak sengaja mendengar teriakan Derla dari dalam kamar. Bi Ike sendiri tahu bagaimana Derla, masalah keluarga yang dihadapi, dan perhatian Ayahnya untuk Fio yang harusnya Derla dapatkan juga. Tapi, ia hanyalah orang kecil di rumah ini.
"Maaf, BI Ike mau lanjut masak buat makan malam."
"Kalau nanti gimana? Atau kapan sebisanya."
"Nggak bisa, Bi Ike sibuk." jawab Bi Ike dengan datarnya.
Derla menetap Bi Ike yang menjauh dari tempat ia berpijak. Bahkan Bi Ike yang Derla percaya pun bisa mengingkari janji yang dibuat sendiri. Mungkin memang Derla harus memendam sakitnya sendirian.
Sudahlah, tidak apa-apa. Derla memasukkan kunci ke dalam saku. Ia melihat Fio juga yang baru keluar dari kamarnya. Dan tak ada yang aneh hingga ia sendiri menyadari kalau Fio berjalan normal.
"Fio!"
Fio tetap berjalan seolah tidak mendengar ada orang lain yang memanggilnya. Sengaja. Fio memang selalu sengaja membuat emosi orang lain. Terutama Derla.
"Heh monyet!"
"Kuping lo nggak berfungsi?!"
Kali ini Fio membalikkan badannya. Dengan bersidekap dada dan wajah malasnya ia terpaksa meladeni Derla. "Kenapa? Lo buta? Nggak lihat apa kalau gue manusia?" tanya balik Fio tidak terima dipanggil dengan sebutan monyet.
"Kalo gue buta nggak bisa lihat monyet jalan." balas Derla dingin dan tak kalah menusuk. Sejujurnya Fio tersinggung. Ia menghampiri Fio dan berdiri tepat di hadapannya. Tatapan tajam itu mulai Derla tunjukkan menggambarkan betapa marah dirinya. "Lo pura-pura supaya Ayah marah sama gue?"
"Iya." balas Fio tersenyum remeh. Jangankan rasa bersalah justru bangga dan senang yang Derla lihat dari Fio sekarang. Detik itu juga Derla mencekal lengan Fio dengan erat dan menarik tubuhnya ke lantai bawah. "Sakit, Der!"
"Derla! Ihh lepasin tangan gue!"
"Lo gila ya!"
"Mamahh kaki aku sakiitt!"
"Ayaahh!!"
"Lepasin, Der!"
"Lo kasar banget sih!"
KAMU SEDANG MEMBACA
DERLA
Mystery / Thriller[Ketika Ambisi dan Balas Dendam Bersatu] Derla Pradiptya, gadis dengan tatapan tajam itu memiliki masa lalu kelam yang membuat dirinya menjadi Derla seperti saat ini. Terbunuhnya Darren Pradipta-saudara kembarnya masih menjadi tanda tanya besar bagi...