D • ancaman atau perintah

127 17 49
                                    

Sejak dua jam yang lalu Jihan tidak berhenti untuk menggesekkan ujung penanya di atas permukaan kertas dan Jihan sendiri pun tidak tahu ia akan melakukannya sampai kapan. Yang jelas ia ingin berusaha lebih keras dari sebelumnya.

Kini Jihan sudah berani berjuang untuk bersaing dengan Derla. Merebutkan posisi pertama di kelas maupun di jurusannya dan entah kenapa Jihan sendiri yakin jika Derla tidak jujur selama ini.

Tentang apa yang terjadi di pagi tadi tepat seperti dugaan kalian. Jihan dan Fio lah yang meminta kakak kelasnya-Amanda untuk melakukan sesuatu pada Derla di depan umum. Awalnya Amanda menolak, namun pada akhirnya Amanda menyetujuinya karena ia sendiri tidak suka dengan pembullyan. Meski caranya salah.

Reaksi Jihan dan Fio tentu saja sangat senang. Senang di atas perasaan malu yang Derla alami. Namun, ini baru langkah awal dalam tindakannya. Masih ada beberapa rencana yang Jihan dan Fio susun untuk waktu yang akan datang. Tunggu saja.

"Jihan, istirahat dulu sayang."

Mira-Ibunya masuk ke dalam kamar dengan membawa piring berisi nasi sayuran juga ada gelas dengan air putih di atas nampan. Mira itu sosok ibu yang sangat perhatian dan sangat memanjakan Jihan. Juga karena Jihan memang anak tunggal di keluarga ini.

Ia meletakkan nampan itu di atas meja belajar. Memang sengaja mengganggu Jihan agar perempuan kecilnya itu beristirahat sejenak dari belajarnya.

"Sebentar Mah, minggir dulu." ujar Jihan sedikit bergeser. Ia masih saja menulis sesuatu di bukunya dan itu membuat Mamahnya mendengus tidak suka.

Tanpa ba bi bu Mira menutup paksa buku dan merebut penanya dari Jihan. Ia meletakkannya ke rak tempat penyimpanan buku di sebelah meja belajar. Lalu menggeser makanan yang telah ia buat ke hadapan Jihan.

Jihan hanya bisa tersenyum dengan perlakuan mamahnya ini. Terpaksa ia meraih sendok dan mulai memasukkan makanan ke dalam mulutnya. "Enak nggak?" tanya Mira.

"Jelas lah enak jangan usah ditanya lagi, Mah!" Jihan menjawabnya dengan mulut penuh oleh makanan.

Jihan terus melanjutkan makannya dengan Mira di sebelah tetap mengamati putri satu-satunya yang sangat ia sayangi.

"Makan terus yang banyak! Biar bisa gass belajarnya!"

Suara Hendrik-Papah Jihan dari pintu kamar membuat keduanya menoleh. Mereka tertawa karena terkejut dengan suara Hendrik yang tiba-tiba. Bahkan mereka tidak menyadari keberadaan Papahnya di pintu sebelumnya.

"Siaapp!" sahut Jihan semangat.

Dan mereka tertawa kembali. Keluarga kecil ini memang nampak harmonis dan baik-baik saja. Bagi Jihan orang tua adalah segalanya dan alasan utama ia masih bertahan hingga detik ini. Mereka yang selalu memberi perhatian, penyemangat, dan kekuatan untuk Jihan.

Namun, di balik semua ini ia menderita.

✂- - -

Berjalan dengan terburu-buru Derla keluar dari rumahnya dengan menggenggam erat handphone ditangannya. Sekali lagi ia membaca sebuah pesan yang Derla sendiri bisa menebak siapa pengirimnya.

+62***
Hai Derla! How are you?
Long time no see, I'm at the Orchid club.

Derla masuk ke dalam mobil pesanan yang ia pesan secara online beberapa menit yang lalu. Tentang pesan itu, Derla yakin siapa pengirimnya. Seseorang yang sengaja menampakkan diri dari seberang jalan depan Dandelion kemarin.

✂- - -

Triiingg

Darren melirik ke arah handphonenya yang berdering. Namun, dengan cepat ia menggelengkan kepalanya lalu kembali fokus pada buku di hadapannya saat ini. Sejak sore Darren terus berada di meja belajarnya.

Ia sengaja menaruh handphone di atas nakas yang sedikit jauh dari tempat ia duduk agar ia bisa fokus dengan apa yang sedang dipelajari.

Triiingg

Sudah empat kali ini ia mendapatkan notif panggilan. Dengan terpaksa Darren meraih handphonenya. Tertera nomer asing di sana. "Ganggu banget." gerutu Darren, ia menggeser logo hijau yang artinya ia menerima panggilan itu.

"Halo,"

"Ketemu di klub Orchid sekarang!"

Suara berat dari sambungan telfon membuatnya ingat dengan seseorang dan Darren yakin penelfonnya saat ini adalah Dia. Tapi, untuk apa dia mengajaknya ke tempat seperti itu lagi? Bukankah semua urusannya kini sudah selesai. "Ngapain gue harus nu-"

"Kalau lo nggak datang, gue nggak tahu apa yang nanti bakal terjadi dengan orang terdekat lo."

Tutt tut

"Argh!" desahnya kesal. Sambungan telfon itu dimatikan sepihak tanpa kesepakatan. Bahkan Darren belum menjawab apapun. "Bajingan!" umpatnya dengan rahang mengeras.

Dia bagian Gangster Black Wolf. Gangster paling populer di SMA Pandhita sekolahnya sebelum di Dandelion. Terkenal kejam dan tidak punya hati. Mereka akan melakukan apa saja demi apa yang mereka inginkan terturuti.

Yang pasti dia menginginkan Darren datang ke klub dengan ancaman dan entah ia sendiri pun masih bingung tujuannya apa. Padahal ia pikir urusannya dengan mereka sudah selesai sejak ia pindah sekolah.

Darren mengambil jaket dan barang seperti handphone dan dompet yang harus selalu ia bawa dan langsung turun ke lantai satu.

"Mau kemana kamu?" tanya Brata yang melihat Darren seperti terburu-buru dengan menenteng jaket di tangannya. Dan itu membuat Darren membalikkan badan menghadap sang Ayah.

"Pergi sebentar." jawabnya dingin. Darren tidak mau orang tuanya tahu ia akan pergi ke klub. Jika tahu pasti akan sangat marah dan bisa saja ia terancam.

"Masuk." ujar Brata pelan.

Darren berdecak. "Pah,"

"Masuk Darren!" kali ini lebih keras dan menekan.

Darren sendiri bingung akan bagaimana. Ia tidak mau membantah Ayahnya tapi ia juga tidak tahu apa yang nantinya akan terjadi dengan orang terdekatnya. Bisa saja teman lama atau orang tuanya. Karena ancaman mereka tidak main-main bahkan jika mereka berkata akan menghabisi sekali pun, pasti akan mereka lakukan saat itu juga.

"Sekali aja."

"Masuk ke kamar dan lanjutkan belajar kamu!" ucap Brata dengan tegas. Ia tidak mau mendapat bantahan lagi dari Darren.

Tapi, putranya itu hanya diam di tempat menatapnya lama tidak berkedip. Brata sendiri bisa memahami bagaimana rasanya dikekang dan di atur tapi ia sendiri harus melakukannya demi kebaikan Darren.

Namun, bukannya masuk justru Darren melangkah keluar dari rumah. Tentu itu membuat Brata menjadi marah. Sedangkan Kinan baru saja turun karena mendengar suara Brata yang terdengar hingga kamarnya.

Kinan keluar dari rumah mengejar Darren. "Darren kamu mau kemana? Ini udah malam jangan macam-macam." ujar Ibunya saat melihat Darren yang sedang berusaha menyalakan kendaraannya.

"Darren minta maaf." Tiga kata yang Darren ucapkan sebelum ia melajukan kendaraannya. Bahkan Darren pergi sebelum Kinan mengizinkan.

Sebenarnya ia tidak mau membantah dan menentang orang tuanya. Tapi ancaman Black Wolf memang tidak sembarang yang mereka ucapkan. Ini menyangkut orang terdekatnya dan Darren tidak mau siapapun yang ia sayangi tersentuh oleh mereka.

✂- - -

✂- - -

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DERLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang