D • yaudah iya

168 29 134
                                    

"Pak, Saya tidak ikut pulang dengan Fio. Saya mau pergi ke makam."

"Nggak diantar pake mobil sekalian toh, mba? Saya sudah nunggu di depan gerbang sama mba Fio ini dari tadi."

"Nggak perlu saya sudah di dalam angkutan."

"Oalah, ya sudah."

Tut..

Derla menurunkan handphonenya setelah sambungan telfon dengan Pak Jaya dimatikan. Ia menghirup udara dalam-dalam sambil memejamkan matanya lalu menghembuskannya perlahan.

Ini adalah perjalanan menuju ke makam kakaknya-Darren Paradipta setelah dua minggu ia tidak mengunjunginya. Jaraknya lebih jauh dari jarak sekolah ke rumahnya dan cukup memakan waktu, tapi itu tidak masalah. Jika dikatakan rindu memang ia rindu, sangat rindu. Namun, di tengah urusan pendidikan dan keluarganya ia harus meluangkan waktu untuk sekedar berkunjung ke makam.

Ia turun dari angkutan setelah sampai di area depan makam. Sebelum masuk, Derla membeli bouquet bunga di depan makam yang dijual oleh salah satu dari beberapa penjual bunga tabur. Bunga itu niatnya akan ia taruh di atas makam nanti.

Jarak nisan kakaknya yang berada di tengah makam membuat ia melangkah sekitar seratus meter dari gerbang. Sampai lah ia di tempat seseorang yang ia sayang. Derla berjongkok bahkan sampai duduk di sebelah nisan bertuliskan nama Darren Paradipta.

Di sini sepi, di sini senyap, di sini nyaman, jauh dari kata orang-orang yang berkata bahwa makam itu menyeramkan. Di depan nisan ini lah Derla selalu meluapkan isi hatinya, bercerita tentang harinya yang sudah tak berwarna.

"Assalamu'alaikum, sore kak."

"Sampai detik ini Derla baik-baik aja meski nggak sebaik dulu. Derla udah buktiin bahwa tanpa kakak di samping Derla semuanya bakal aman-aman aja. Derla bisa jaga diri." ucapnya membanggakan diri. Derla mengedipkan matanya beberapa kali menahan air matanya.

Derla menghela nafasnya berat, nyatanya ia hanya bisa menahan air matanya sebentar sebelum akhirnya cairan bening itu perlahan keluar juga dari sela-sela matanya. Dengan segera ia mengusap pipinya dengan kasar.

"Oh iya, Ayah menikah lagi dengan Tante Liona dan Derla punya saudara baru namanya Fiona. Entahlah, Derla nggak suka dengan keberadaan mereka di rumah. Mereka nggak bisa gantiin Kakak dan Ibu."

Dengan tiba-tiba rautnya datar kembali, dengan tatapan kosongnya dan bercak air mata di pipi ia merasa amarahnya kembali memuncak. Kini pandangannya beralih ke nisan kakaknya lagi.

"Untuk Jihan biar jadi urusan Derla." Derla mengucapkannya dengan gigi bergemelutak. Bagaimana pun caranya ia berusaha lupa namun tidak akan bisa karena setiap hari ia bertemu dengan Jihan yang merupakan penyebab kakaknya pergi jauh. Tapi menyadari ia sedang berada di dekat Darren, harusnya ia tidak membahas tentang itu.

"Derla udah selesai. Maaf udah dua minggu nggak jenguk kakak ke sini sekalinya jenguk malah curhat." Derla mengusap nisan perlahan sambil tersenyum tipis ke arahnya. "Derla pamit, Assalamu'alaikum. Derla hanya bawa bunga ke sini, semoga kakak suka!"

Dengan perlahan ia menghapus seluruh jejak air mata yang tersisa dan mulai berjalan menjauh keluar dari makam.

"Derla!"

Panggilan itu membuat Derla menoleh, namun menyadari yang memanggilnya ada Darren Adelio-siswa baru di sekolahnya Derla kembali melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda. Untuk apa cowok itu mengikutinya sampai sini? Heran.

Dari kejauhan meski Derla tidak menghentikan langkahnya, yang namanya Darren tidak akan mudah menyerah. Ia terus memanggil-manggil nama Derla dengan meneriakinya kencang.

DERLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang