» 4 • The 'Barrier' Wall

139 30 6
                                    

Suara deruman motor membuat Maudy menoleh ke arah gerbang. Aiden, Lanang, Xavi, dan Hendra tiba bersamaan di area parkir Departemen Tari. Aiden memboncengkan Yola, sementara Lanang memboncengkan Yona, pacarnya. Mereka turun dari motor seraya melepas helm masing-masing.

Aiden menoleh ke sembarang arah. Seketika itu juga netranya bertemu dengan milik Maudy. Bibirnya pun melengkung ke atas membentuk sebuah senyuman.

"Gue duluan," pamit Aiden.

"Eh, lo mau ke mana? Buru-buru amat," tanya Yola heran.

Xavi mendapati keberadaan Maudy tak jauh dari tempat mereka berada. Cowok itu berkacak pinggang sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Kayaknya gue tau kenapa Aiden buru-buru," ujar Xavi sok misterius.

"Kenapa emang?" tanya Hendra penasaran.

"Kepo."

"Sialan lo!"

Sebenarnya Aiden tidak pernah memberitahu soal perasaannya pada siapa pun, kecuali kawan-kawan seperjuangannya. Aidennya saja yang memang tidak piawai dalam melancarkan aksi 'modal dusta'. Teman-temannya pun dapat dengan mudah menebak isi hati cowok itu.

"Wah lo beneran mau ngegebet Maudy, Den?" tanya Yona dengan takjub.

Aiden hanya nyengir.

"Sikatttt lah bosss!!!!" seloroh Lanang penuh semangat.

🎸🎸🎸

Aiden keluar dari gereja. Sekitarnya sepi. Ia lalu duduk di pelatarannya. Cowok itu seorang diri. Sekitarnya lengang. Hanya ada suara embusan angin, dedaunan bergemerisik, dan sayup-sayup suara kendaraan di jalanan.

Waktu menunjukkan nyaris tengah hari. Aiden menghela napas pendek. Aiden menoleh ke kanan-kiri, menatap deretan bangunan besar di sekitarnya, netranya lantas terfokus pada bangunan dengan kubah sebagai mahkotanya. Itu masjid, gedung yang bersebelahan persis dengan gereja tempat ia berada sekarang. Di pelatarannya terdapat banyak sandal dan sepatu yang berjejer rapi. Area parkir yang berada tidak terlalu jauh dari tempatnya berada pun dipadati banyak motor dan mobil.

Sekarang adalah waktunya shalat Jum'at. Ada sebuah area di kompleks ABB yang disebut sebagai area peribadatan. Di sana terdapat enam bangunan besar tempat beribadah untuk masing-masing pemeluk agama. Untuk saat ini yang dipadati adalah masjid. Aiden duduk di pelataran gereja untuk menunggu Lanang dan Hendra selesai melaksanakan ibadah shalat Jum'at. Mereka akan latihan hari ini. Xavi sendiri tadi pamit untuk pulang sebentar karena lupa membawa powerbank. Sedangkan Yola memilih menunggu di kelas. Gadis itu minta dikabari apabila Lanang dan Hendra sudah selesai.

"Aiden, ya?"

Aiden yang semula sedang bermain ponsel pun mendongak. Pupil matanya seketika melebar saat netranya menangkap sosok Maudy yang tengah jalan mendekat. Gadis itu bersama satu orang teman, yang Aiden kenal dengan nama Khansa.

"Eh, oh──hai, Mod, Sa."

Maudy dan Khansa duduk di pelataran masjid. Aiden baru sadar kalau mereka membawa mukena di tangan. Kini mereka duduk saling berhadapan dari pelataran tempat ibadah masing-masing.

"Oiya, Den, gue lupa bilang kemarin. Makasih, ya, buat tebengan pulangnya. Abang gue keburu mancing ribut duluan sampe gue lupa semuanya. Sorry, hehe."

Aiden terkekeh. "Santai aja. Lo lucu tau waktu berantem sama abang lo."

Wajah Maudy seketika cemberut. "Lucu apanya? Kata abang gue, gue kalo marah kayak maung, nggak ada lucu-lucunya!"

Aiden terkekeh lagi. Ia memilih untuk tidak menjawab. Akan sensitif bila membahas topik ini dengan kaum perempuan. Bisa-bisa ia yang akan kena batunya lagi.

"BTW, kalian berdua ke sini mau ngapain? Mau shalat Jum'at juga? Tapi kayaknya udah mau selesai, deh," kata Aiden.

"Kita mau shalat dhuhur abis jamaah shalat Jum'at-nya selesai," jawab Maudy sambil tersenyum. "Lo sendiri ngapain di sini?" lanjutnya.

"Nungguin Lanang sama Hendra."

"Lanang sama Hendra?"

Aiden mengangguk. "Mereka lagi Jum'atan. Kita abis ini mau latian nge-band soalnya."

Maudy ber-oh ria.

"Oh, ya, Den. Tadi sebelum ke sini Yola nitip pesen ke gue kalo ketemu lo. Katanya lo suruh ngabarin dia kalo udah selesai. Nggak tau gue maksudnya selesai apa," ujar Khansa.

"Oke. Thanks, Sa, infonya." Aiden tersenyum.

Rasa-rasanya Aiden ingin menghentikan waktu saat ini juga. Biasanya ia hanya bisa memandang Maudy dalam diam dari kejauhan. Apalagi di kelas. Maudy tipe anak penghuni bangku deretan depan, berbanding terbalik dengan Aiden yang memilih mendiami deretan bangku belakang bersama teman-temannya. Tapi bukan berarti Aiden itu anak yang hanya modal bawa nyawa saja ke kampus. Salah satu stereotip buruk tentang penghuni bangku deretan belakang yang masih berkembang di tengah masyarakat.

Tapi seketika Aiden terdiam.

Aiden menatap bangunan tempat Maudy berada bersama Khansa. Sebuah bangunan megah dengan kubah sebagai mahkotanya. Ukiran-ukiran kaligrafi terpahat indah pada dindingnya. Juga dengan lantunan-lantunan syahdu pada pengeras suara yang terdengar hingga keluar.

Aiden menghela napasnya.

Realita lagi-lagi menamparnya dengan keras.

DESTINYOU

Makasih banyak ya udah luangin waktunya buat mampir. Apapun yang kalian tinggalkan di sini, itu berarti banget buat aku :D Kecuali kalo yang kalian tinggalkan mengandung konotasi negatif.

TBC

ABBLS | #1 DESTINYOU ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang