"Aku pulang ...."
Hinata melirik dari ujung mata, memasukkan hamster ke dalam kandang. Ia menghampiri sang kakak, tersenyum semringah ketika menatap plastik penuh di sisi kanan dan kiri genggaman lelaki itu.
"Oi, kau tersenyum seperti itu tidak ada gunanya," kata Neji. "Aku tidak membeli camilan untukmu." Dia tidak mengindahkan sama sekali muram durja di depan, memilih mengambil langkah, dan segera menyusun persediaan makanan ke dalam kulkas.
"Padahal aku sengaja menunggu." Adiknya mendengkus, menjatuhkan bokong tempat di kursi makan. Kakinya yang tidak menyentuh lantai mengayun, sikap itu seperti anak kecil. "Toneri sudah pulang."
Neji tersentak, baru menyadari kalau lelaki itu tidak ada di rumah. "Bukankah dia mengatakan, akan menunggu sampai aku tiba di rumah?" Membalikkan tubuh, menatap ekspresi datar di sana. "Apa ada sesuatu yang terjadi?"
Bibir mengatup ketika hendak mengeluarkan suara, ia menunduk ̶ ̶ tidak berani mengangkat kepala. Neji menarik kursi, lalu mengambil duduk tepat di depan sang adik. Sungguh tidak biasa mendapati hal seperti ini, adiknya merupakan orang yang tidak pernah bermuram durja setelah bertemu dengan kekasihnya.
"Sepertinya benar terjadi sesuatu," gumamnya. Ia semakin tidak bisa berpikir jernih, mengarah pada sesuatu percakapan mereka sebelum pergi ke supermarket. "Apa ̶ ̶"
"Aku sudah tahu," katanya. "Sudah lama kami bersama, tentu aku sudah tahu bagaimana sikapnya terhadapku setiap saat. Semuanya adalah dusta, kecuali mata. Mata tidak pernah berbohong, sekali pun berusaha berdalih. Setiap kali aku melihatnya, ada sesuatu yang tertahan di dalam dirinya. Aku pikir, dia berusaha untuk menyampaikan sesuatu padaku. Keluarga Otsutsuki mulai menjauhi kita setelah Ayah meninggal, bukankah begitu?
"Ya, lagi pula ... itu hanya lelucon. Seiring perubahan zaman, bahkan pola pikir ikut berubah. Aku tidak bisa berbohong, semakin lama hubungan ini hanya sebuah keterpaksaan. Dia yang selalu mengatakan padaku, untuk selalu belajar menerima keadaan. Namun ternyata, dia yang bodoh tidak bisa mengaplikasikan apa yang dikatakannya sendiri." Hinata mengangkat kedua kakinya ke kursi, menekuk lutut dengan kedua tangan memeluk erat.
Ekspresi itu menyayat hati Neji. Jujur, dalam situasi ini dia tidak tahu harus merespons seperti apa. Hinata dan Toneri sudah lama bersama sebelum mereka menjalin hubungan. Meskipun hanya berteman, mereka paling tahu situasi satu sama lain tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Mungkin, ini yang membuatnya berpikir selalu, bahwa perasaan nyaman itu muncul di antara keduanya.
"Selama ini aku berpura-pura tidak tahu, karena ingin mendengar dia jujur padaku. Tetapi, sampai sekarang tidak ada yang dia katakan padaku. Ini jauh lebih menyakitkan." Dia memperhatikan telapak tangannya, terlihat sebuah cahaya berbentuk bulat. "Jika suatu hari ... kami harus berpisah. Bagiku tidak apa, hubungan tidak dapat dipaksakan. Tetapi ... ada luka yang akan tertinggal. Sayang sekali ... kekuatanku pasti tidak dapat menyembuhkan luka di hati. Iya, 'kan, Kakak?"
◊◊◊◊
Sungguh, hari ini Naruto tidak memiliki niat untuk bekerja. Kemarin malam, ia memilih memutar mobilnya untuk mampir minum. Sialnya, karena tidak bisa menahan diri, entah berapa banyak botol yang ia habiskan seorang diri. Alhasil, pagi ini dia membuang isi perutnya di dalam toilet.
"Sial," desisnya. Rasa mual itu memuncak, membuat diri terpaksa berlari ke toilet segera. "Aku benar-benar tidak jera sama sekali." Mengingat kejadian beberapa minggu lalu ̶ ̶ pulang dalam keadaan mabuk, hingga masuk ke rumah sakit. Untungnya, kemarin ia bisa mengatur diri dengan dengan baik.
Lelaki pirang itu memandang ke arah di cermin, mengangkat kaus putih untuk melihat keadaan perutnya. Ia mendongak ̶ ̶ berusaha mengingat sesuatu tentang kecelakaan yang menimpa.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNBELIEVE
FanfictionKetika dia selamat dari kecelakaan, tanpa ada luka sama sekali, orang-orang menganggap bahwa itu merupakan suatu keberuntungan. Namun tidak bagi Naruto, meskipun saat itu dia sedang mabuk. Mata masih sempat memandang seorang gadis tengah menolongnya...