[4] UNBELIEVE

930 146 11
                                    

Hinata tahu kalau lelaki pirang itu tidak pernah berhenti memandang ke arahnya. Seperti harimau haus akan darah rusa yang tengah sibuk memakan rumput. Hinata mungkin tidak memakan rumput, namun menelan kepahitan dalam mengurus dokumen. Sulit dirasa mengeluh ketika terlintas wajah sang kakak.

"Permisi," dia berhenti pada dokumen, mengambil langkah sedikit mendekat arah meja kerja Naruto. Lelaki pirang itu cukup tersentak akan kehadirannya tiba-tiba, kedua bola mata biru itu bahkan spontan mengalihkan. "Apa ada sesuatu yang salah denganku?"

Lelaki pirang itu mengernyit bingung. "Kenapa kau bertanya padaku?"

Gadis itu menghela napas, melirik jam dinding, pukul satu siang merupakan waktu istirahat. "Baiklah, apa boleh aku mengambil waktu istirahat sekarang?"

"Sudah waktunya, kau tidak perlu sampai meminta izin bukan?"

Menelan pahit, sudut bibir sulit diangkat, namun hati memaksa untuk menunjukkan senyuman terbaik. Hinata menghela napas, berhasil mengundang perhatian lelaki pirang itu. Tetapi dia tidak punya waktu untuk mengindahkan. "Saya permisi."

Naruto melirik dari ujung matanya, bahkan mata sulit dialihkan sampai pintu ruangan benar-benar tertutup. Ia sendiri bahkan tidak sadar kalau saat ini memasuki waktu istirahat, dan sekarang hanya tersisa satu jam. Tangannya mengambil dokumen yang dikerjakan oleh gadis itu, mengamati setiap kata maupun kalimat. Cukup mudah memang pekerjaan yang diberikan, hanya memindah beberapa data statistik untuk menarik kesimpulan.

"Aku tidak ingin mengatakan ini," gumamnya. "Tetapi pekerjaannya lebih baik daripada Code saat magang dulu."

◊◊◊◊

Tepat di belakang kantor, Hinata tidak mengira akan menemukan sebuah taman cukup luas. Meskipun hampir setengah dijadikan lapangan parkir. Kalau tahu dia menemukan tempat ini dengan cepat, ia tidak perlu sampai menaiki atas atap. Ia sendiri bahkan mendadak lemas ketika tanpa sengaja menemukan orang-orang di atas atap, kebanyakan dari mereka adalah seorang pria tengah menikmati rokok di tangan. Hinata kenal salah satu dari mereka, namun dia memilih mengabaikan sembari menunduk karena takut mengganggu.

Karena ia belum memiliki banyak kenalan di dalam sana, cukup sulit baginya untuk memulai. Meskipun ada satu, yaitu Code yang dilihat cukup sepemikiran dengannya, namun sepertinya lelaki itu jauh lebih sibuk daripada dirinya.

Berakhir di sini, menikmati bekal buatan Neji. Ia akui bahwa tempat ini cukup nyaman menikmati makan siang, angin sejuk, cahaya matahari tidak terlalu terang karena hanya melewati celah rapatan daun pohon yang cukup sempit.

Tengah menikmati makanan, dia tersentak dengan kehadiran seseorang di sampingnya. Seorang pria berumur mengenakan helm pelindung, membawa alat pembersih kaca. Hinata beranggapan kalau paman itu juga bekerja di kantor yang sama dengannyai. Matanya mengamati, sulit rasanya menelan nasi ketika melihat keadaan lelah seorang ayah di sana. Ia bahkan tidak sampai hati memakan bekal sendirian.

"Apa Paman mau berbagi bekal denganku?" ia tidak tahu apakah kalimat itu pantas dikatakan atau tidak, namun hati memaksa untuk tetap mengulur.

Pria itu tertawa, mengelap wajah dengan handuk. Hinata memperhatikan apa yang dilakukan pria itu, membuka sarung tangan, membasuh tangan dengan tisu basah, dan terakhir menyemprotkan hand sanitazer. Kemudian, pria itu tersenyum semringah sembari menunjukkan bekal yang baru saja diambil dari plastik hitam.

"Aku juga punya bekal, putriku yang membuatkan makanan ini," kata pria itu sembari menunjukkan isi bekal, di dalamnya banyak makanan sehat. Hinata tersentak ketika satu daging mendarat pada bekalnya, dan pria itu tersenyum. "Kau mengingatkanku dengan putriku."

UNBELIEVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang