Tidak jauh dari apa yang diduga olehnya. Hal yang terjadi menimpa gadis pirang itu, tidak lain dan tidak bukan karena seorang lelaki yang merupakan kekasih Naruko sendiri. Sekiranya, hampir tiga jam untuk menunggu gadis pirang itu bercerita padanya. Hinata belum meminta petugas untuk melihat rekaman CCTV, rekaman itu bisa saja menjadi bukti yang kuat dan dibawa ke jalur hukum ̶ ̶ sebagai kasus kekerasan.
Tetapi, ketika ia menyarankan demikian. Gadis pirang itu menolak, dengan alasan tidak ingin memperpanjang masalah. Dan mirisnya hal ini terjadi, karena Naruko meminta mengakhiri hubungan mereka. Namun, lelaki itu tidak menerima dan memilih memakai kekerasan.
"Aku ke mari untuk bertemu dengannya. Mendapati dirinya tidur dengan wanita lain, aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan. Namun, dia tidak terima dan menghajarku," katanya dengan lirih. Gadis itu tampak ingin menangis, Hinata menggapai pipi itu untuk memberi ketenangan. "Dia tidak pernah seperti ini padaku, selalu bersikap lembut dan manis. Karena itu, aku benar-benar syok ketika dia menghajar dan membentakku."
Dibutakan oleh cinta, kira-kira seperti itu. Ketika remaja labil mengenal cinta, hal yang lumrah saat mereka mendadak tuli dan buta dalam hal apa pun.
"Setidaknya ada sisi baik yang kau ambil." Hinata memejamkan mata sesaat, kepalnya merasa nyaman bersandar pada paha gadis pirang itu. "Karena kau bisa mengetahui sisi buruk dari lelaki itu. Kau sungguh bijak, sangat cepat dalam mengambil keputusan. Berpisah dengannya adalah yang terbaik. Beberapa orang berpisah karena mereka tidak cocok, atau beberapa dari mereka karena telah menemukan orang lain."
Nada suara itu terdengar lirih. Kalimat terakhir yang diucapkan menusuk hatinya sendiri. Sangat tepat dengan apa yang telah terjadi, namun seolah-olah mengambang. Sebab, tidak ada yang mau berkata jujur di antara dia dan Toneri.
"Beberapa dari mereka karena telah menemukan orang lain," ulang Naruko. Menunduk, menatap wajah tengah tersenyum ke arahnya, senyuman yang terlihat berbeda. Mata itu dapat menjelaskan semuanya. "Pada saat kau mengatakan kalimat itu, nada suaramu terdengar berbeda. Apa kau ... maksudku ... maaf karena aku sedikit lancang."
Hinata mengambil duduk, merenggangkan otot tubuhnya, kucing di atas perut segera berpindah. Menepuk gadis pirang itu tengah menatap khawatir ke arahnya. "Tidak, tidak ... itu mungkin hanya perasaanmu saja. Mari kembali pada ceritamu, oke?"
Naruko mengerjap, memandang datar ke arah gadis itu. Ia menunduk, mengepalkan tangan dengan kuat di atas pahanya. Sorot mata Hinata menangkap hal itu, tersenyum miris sembari menenangkan gadis itu kembali.
"Tidak perlu takut. Aku akan di sini bersamamu," katanya. Meletakkan jari telunjuk ke arah bibir, lalu mendesis pelan. "Mengenai kekuatanku, tolong rahasiakan dari siapa pun ya?"
"Terimakasih karena kau sudah menolongku." Naruko berdiri, membungkuk kemudian. Lalu keluar, mengutip semua kaleng makanan kucing di luar. Hinata yang melihat itu tersenyum, lalu membelai tubuh kucing di sampingnya.
Teringat sesuatu, ia pun segera mengambil ponsel untuk menghubungi Naruto. Panggilan cepat terhubung, dan yang pertama kali didengar olehnya adalah suara berat yang tengah menguap.
◊◊◊◊
Acuh tak acuh dalam bersikap menghadapi sang adik, karena merasa lelah dengan sikap keras kepala itu. Bahkan terkadang, selama satu harian ia tidak ingin tahu tentang adiknya sendiri. Karena Naruto yakin, gadis itu dapat menjaga diri dengan baik.
Tetapi, saat mendengar kabar dari seberang ponsel, rasa khawatir, degupan jantung yang tidak karuan, keringat dingin. Dia segera berlari keluar rumah menuju apartemen Hinata, tanpa mematikan ponsel. Merelakan diri untuk tidak membawa mobil, mengingat perjalanan cukup jauh. Kembali teringat dengan pembicaraan mereka saat berada di kedai ramen. Sesaat, ia menyesali karena tidak mengindahkan rasa khawatir gadis itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
UNBELIEVE
FanfictionKetika dia selamat dari kecelakaan, tanpa ada luka sama sekali, orang-orang menganggap bahwa itu merupakan suatu keberuntungan. Namun tidak bagi Naruto, meskipun saat itu dia sedang mabuk. Mata masih sempat memandang seorang gadis tengah menolongnya...