[19] UNBELIEVE

442 87 9
                                    

Serupa seperti sang adik, mata itu tidak pernah lelah memandang ke arah jari yang dilingkari cincin manis di sana. Meskipun begitu, Neji tetap mendengar penjelasan dari lawan bicara. Ia memejamkan mata sesaat, setelah mendengar helaan napas terdengar begitu berat.

"Jika boleh jujur, aku sangat membenci keluargamu," kata Neji. Melirik dari ujung mata sembari bermuram durja. "Dahulu keluargamu sangat menginginkan adikku agar bisa menjadi istrimu. Lalu, setelah ayahku meninggal ... kalian semua menutup mata. Ternyata itu semua hanya omong kosong. Aku juga tidak bisa berkata apa-apa, pun tidak bisa memaksamu, bukan?"

Dia menyandarkan punggung selemas mungkin. Menengadah memandang daun-daun pohon yang bergesek karena angin yang bertiup pelan, hingga mengeluarkan suara kecil yang sedikit menenangkan kepala.

"Bahkan ... kau sendiri tidak bisa melakukan apa-apa, 'kan?" desisnya pelan. Hal itu membuat Toneri tersentak, menunduk sembari meremas kuat minuman kaleng di tangannya. Neji yang melihat itu tidak mengindahkan sama sekali. "Jika keluargamu merasa bersalah, seharusnya mereka semua bertemu dengan ibuku dan meminta maaf. Tetapi, sepertinya tidak demikian? Tidak mungkin kau akan memakai cincin itu dan berpura-pura menjadi kekasih adikku sampai detik ini ̶ ̶ tidak! Maksudku beberapa hari yang lalu."

Apa pun yang terjadi, maka terjadilah. Toneri sudah siap menghadapi saat-saat ini, baik itu pada saat pertemuannya dengan Hinata. Namun, tidak pernah merasa sangat tersudut seperti ini. Tahu bahwa ini kesalahannya, begitu pun juga dengan keluarganya. Lelaki itu memang berkata benar, bahwa tidak akan ada yang bisa dia lakukan, tidak akan ada yang berubah.

"Aku minta maaf!"

Kaleng soda itu jatuh ke bawah, hingga merembes keluar mengenai sepatu pantofel milik Neji. Orang-orang berseliweran di depan mereka berhenti, memandang seorang lelaki tengah bersujud sembari mengucapkan kalimat serupa.

Neji meneguk minuman terakhir, meletakkan kaleng soda pada tempat sampah setelah ia berdiri dari duduknya. Memandang datar tanpa rasa iba. Perasaan itu semua bercampur aduk, hingga membuat diri merasa muak dengan lekaki itu. Ia tidak ingin menyalahkan kematian ayahnya sendiri, sebab setiap manusia memiliki garis takdir yang terukir di setiap perjalanan hidup mereka. Tetapi, ada sisi teramat sakit ketika keluarga itu sekarang menutup mata.

Itu berarti, semua kalimat yang penuh harapan saat mereka ucapkan, hanyalah omong kosong untuk menyenangkan hati si pendengar.

"Mereka sangat cocok. Aku akan merasa sangat bahagia jika melihat mereka tumbuh dan menikah bersama."

Saat ini langkahnya begitu ringan, mukanya begitu tebal di hadapan semua orang. Neji tidak mengindahkan apa yang ada dalam pikiran orang-orang di sekitarnya saat ini. Dia atau Toneri yang mungkin berperan sebagai orang jahat. Mengabaikan orang yang ingin meminta maaf, termasuk dari perbuatan yang buruk. Dan orang yang tetap berpura-pura demi keegoisan sendiri, merupakan orang jahat.

Bahu itu gemetar, kepala terasa berat menengadah. Suara tapak sepatu terdengar jelas melalui pendengarannya, hiruk-pikuk di sekitar ia hiraukan. "Maaf ... aku minta maaf ... sungguh."

◊◊◊◊

"Kau terlihat lebih bahagia."

Naruto menyusun lembar kerja, menandakan beberapa halaman dengan stiker kecil sebagai tanda bahwa halaman itu belum ia pindahkan dalam laptop. Ia melirik kembali Hinata tengah tersenyum pada ponsel.

"Benarkah?" sahut gadis itu.

Namun, respons yang didapat membuat lelaki pirang di sana penasaran. Apa yang tengah dilihat Hinata, sampai membuat sudut bibir itu terangkat. Pula tidak jarang tertawa kecil. Kening itu mengernyit. Karena tidak tahan, ia pun menghampiri gadis itu dan mengambil ponsel dengan paksa. Naruto bahkan menaruh telapak tangan di wajah Hinata agar gadis itu berhenti memberontak.

UNBELIEVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang