[3] UNBELIEVE

828 159 14
                                    

Muram durja berganti, hampir satu jam menunggu sang adik tengah sibuk pada hamsters. Neji benar-benar menyesal karena pernah membelikan hamsters pada adiknya. Tanpa tahu bahwa salah satu hamster yang benar dibeli tengah mengandung.

"Kau tidak melupakan sesuatu, 'kan?" dia melirik arloji di tangan. Pukul 08.00 pagi, merupakan waktu yang sibuk bila bertepatan dengan hari kerja. Kereta, bus, orang yang sedang jalan kaki pasti memenuhi seluruh jalanan.

"Maafkan aku," kata Hinata, bergegas kemudian sembari mengambil mantel bronze miliknya. Ia memasang wajah semringah agar sang kakak tidak marah padanya karena terlalu lama menunggu untuk memberi makan hamsters. "Aku tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja, kau tidak ada di rumah 'kan? Siapa yang akan memberikan makan mereka nantinya?"

Neji menghela napas, memilih untuk tidak mengindahkan mungkin adalah pilihan yang terbaik. "Oke, sebelum itu," Hinata berhenti ketika mendengar nada suara cukup serius. Memandang wajah sang kakak kemudian, namun tidak lama dia menghela napas. Sebab dia tahu apa yang ada di dalam pikiran lelaki itu sekarang. "Kau masih ingat dengan peraturan yang kita buat, 'kan? Aku harap kau tidak ceroboh dan jangan sembarangan menggunakan kekuatanmu." kata lelaki itu.

Hinata mengangguk, sejujurnya dia merasa jenuh ketika harus mendengar kalimat yang sama. Ia tidak mengerti kenapa kakaknya sampai seperti ini padanya. Dia bukan anak-anak yang harus dinasihati setiap hari, apa tidak bisa jika mengatakan kalimat sebagai tanda peringatan sekali tanpa berkali-kali?

"Baik, baik, aku paham. Aku merekam semua yang kau katakan kemarin malam padaku. Kakiku benar-benar kram saat duduk bersimpuh di depanmu. Kau lebih kejam dibandingkan dengan ibu." gadis itu menjulurkan lidah sebelum keluar dari apartemen. Ia sengaja membawa sepatunya dan memilih tidak memakai langsung di dalam.

"Hei, kau! Benar-benar ..." Neji menggeram kesal, memberi tatapan peringatan pada sang adik. Lalu memilih menyusul kemudian, "Sial, dia benar-benar sulit diatur." dan inilah alasan yang membuat dirinya sangat cerewet bila bersama sang adik.

Saat sampai di lantai bawah, ia menuju halaman parkir. Melihat Hinata tengah memakai sepatu, gadis itu juga mengalungkan sebuah kartu penanda khusus. "Siapa pun yang orang yang membimbingmu di dalam sana, kau harus ikuti aturan. Jika mereka melakukan sesuatu yang membuatmu tidak merasa nyaman, katakan saja padaku."

"Hei, kau ingin mengantarku kerja atau ke sekolah?"

Pandangan mendadak berubah, senyuman luntur seketika, muram durja berganti diiringi dengan senyuman mengerikan. tetapi Neji memilih tersenyum kikuk menanggapi ketika melihat respons sang adik terlalu biasa.

"Sialan kau!" dia memilih memberikan pukulan di kepala. Tidak peduli jika dia mendengar suara kesakitan di sana. "Tidak peduli jika aku memukul kepalamu sampai berdarah. Aku akan menyembuhkannya lagi, lalu memukulmu kembali, begitu seterusnya sampai aku merasa puas!"

Gadis itu tersentak, menyesal karena membuat sang kakak marah padanya. "Sungguh aku minta maaf!" menyesal sudah, Neji memilih mengabaikan.

◊◊◊◊

Berakhir seperti ini, di hari pertama magang, dia malah membuat kesalahan dengan datang terlambat. Hinata hanya bisa menunduk, lehernya terasa sakit jika harus menatap orang di depannya.

"Apa kau akan tetap menunduk seperti ini?"

Hinata tersentak, namun masih enggan mengangkat kepala saat mendengar suara berat di sana. "Maaf," nyaris tidak terdengar, lelaki di depannya mengernyit bingung. "Sejujurnya terjadi perkelahian kecil dengan kakakku. Dia tidak berhenti memukul kepalaku karena merasa kesal. Lalu berakhir seperti ini, sepertinya dia berniat untuk membalaskan dendam padaku."

UNBELIEVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang