[17] UNBELIEVE

419 86 2
                                    

Beberapa jam lalu, ia mendapat panggilan. Setiap penjelasan yang keluar dari seberang ponsel tidak dapat membuat diri membuka suara. Neji berusaha menjadi pendengar yang baik saat itu, bahkan orang di seberang sana pun mungkin tidak akan tahu bagaimana rasanya menahan amarah yang hampir meledak.

Telinga itu cukup panas, bersamaan dengan dirinya. Tetapi, tidak sekali pun dia membuka suara untuk menyela.

"Bodoh," gumamnya. Melempar ponsel itu sembarang pada arah kasur, hingga emosinya tidak akan lepas jika melihat ponselnya rusak.

Helaan napas terdengar berat, jari-jari tangannya menyisir rambut panjang itu ke belakang. Neji mengambil duduk pada pinggir kasur, lalu melirik ke arah pintu, bahwa dia memastikan pintu telah tertutup. Ia tidak mau ibunya tahu kalau hatinya tengah gundah. Pikiran tidak karuan, bagaimana kondisi sang adik saat ini. Tidak dapat membayangkan bagaimana gadis itu mengurung diri di kamar karena patah hati.

"Hal yang wajar jika dia merasa demikian," desis pelan. "Mungkin perasaan kecewa itu sudah lama bersarang di hatinya, dan menunggu kalimat kejujuran untuk melepaskan perasaan itu. Namun ..," Menutup mata sesaat, menengadah kepala memandang langit-langit kamar. Tangannya meraih kembali ponsel, mencari nomor panggilan yang beberapa jam lalu membuatnya menjadi seperti ini.

"Ikuti perintahku, atau kaki dan tanganmu hilang!"

◊◊◊◊

"Kau baik-baik saja?" tanya Naruto lembut.

Dia meletakkan sendok dan garpu pelan. Pancake buatan gadis itu sangat enak ̶ ̶ jarang-jarang dia mengakui masakan seseorang. Namun entah kenapa rasa manis itu hilang ketika melihat wajah cemberut di depannya.

Pancake di atas piring Hinata bahkan sepenuhnya telah tenggelam karena madu yang terus dituangkan. Naruto mengambil botol madu dari tangan gadis itu kasar, dan itu masih belum menyadarkan lamunan serta muram durja di depannya.

"Jika kau tidak berhenti bermuram durja, pancake ini akan terasa hambar selamanya!" kata lelaki pirang itu ketus.

"Meskipun aku tahu dia berbuat salah, namun aku memilih tetap bersamanya. Selalu menunggu untuk dia berkata jujur padaku, bahkan aku sudah memantapkan hati jika memang suatu hari nanti kami berpisah. Namun ternyata, kami berdua sama saja. Menyembunyikan perasaan luka satu sama lain dan berdalih bahwa obat itu adalah di saat kami menghabiskan waktu bersama."

Lelaki itu bergeming, memandang lembut pada gadis di depannya. Lalu ia menghela napas, mengambil tisu untuk mengelap bibir terasa lengket karena madu.

"Aku tidak tahu apa yang ingin aku katakan, karena aku tidak berhak untuk ikut campur."

Suara itu mampu membuat kedua bola mata mereka bertemu. Hinata merasa sedikit tenang karena suara lembut itu menenangkan hatinya. Tidak seperti biasa yang meninggi. Mungkin karena itu mengenai pekerjaan kantor yang membuat lelaki pirang itu harus tegas.

"Tidak ada yang mudah dalam hubungan, itu yang aku ketahui. Termasuk dalam urusan pekerjaan. Ada momen di mana akan membuat dirimu berharap, terluka, atau bahkan mengundurkan diri. Semua itu akan membuat isi kepalamu bertambah sakit. Tetapi, ada momen di mana kau akan merasa tenang."

"Kapan momen itu akan datang?"

"Di saat kau berada pada tempat yang tepat."

Sudut bibir gadis itu terangkat. "Kalimat itu akan terdengar lebih indah, saat susunan kalimatnya tidak Anda kaitkan dengan pekerjaan."

Naruto mengedikkan bahu, lalu menuangkan susu kotak ke dalam gelas. Ia tersenyum tipis saat melihat gadis itu tidak bermuram durja kembali. Dan kini perasaan tidak nyaman muncul dalam dirinya, ketika ia mengingat kembali bagaimana wajah lelaki tengah patah hati. Aneh rasanya jika ia merasa senang pada orang yang akan sebentar lagi berpisah, sehingga tak ada penghalang apa pun untuk mengambil hati sang pujaan hati.

UNBELIEVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang