[22] UNBELIEVE | END

1.1K 116 14
                                    

Hal pertama yang dilihat ketika terbangun adalah bunga Garbera merah yang ada di sebelah tempat tidur. Hinata mengerjap. Baru saja ia ingin membuka suara, matanya teralihkan ke arah pintu, saat mendengar suara cukup nyaring di sana.

Itu Naruto. Lelaki pirang itu terperangah, tidak mengindahkan makanan yang berserakan di lantai karena ulahnya.

"Apa sebaiknya ̶ ̶"

Kalimat itu terpotong, tatkala syok mendapat pelukan. Rasa risi membuat Hinata memejamkan mata, saat janggut tipis menyentuh pipinya. Lalu, ia menatap kembali ̶ ̶ pula merasa hangat. Lelaki pirang itu benar-benar khawatir padanya. Berapa lama ia tidak sadarkan diri?

"Kau membuatku takut," sentak Naruto. Jari-jari tangannya meremas kuat bahu gadis itu, menatap lekat bola mata berwarna thistle di depan. "Genap satu bulan kau tidak sadarkan diri."

Gadis itu tersentak, bayangan tentang kecelakaan Code menghantam isi kepalanya. Kemudian ia menunduk, menatap lekat telapak tangan. Tidak heran kenapa begitu lama pulih, sadar bahwa apa yang dilakukan kemarin cukup ekstrem. Saat itu dia tidak memikirkan apa-apa selain keselamatan lelaki berambut merah itu.

"Apa kau tidak pernah memikirkan dirimu sendiri!" hardik Naruto.

Suara tinggi itu membuatnya tersentak, tiada henti menghardik dan mengungkit hal yang sudah berlalu. Memandang bingung, apa yang membuat Naruto sampai semarah itu padanya.

"Tolong pikirkan dirimu juga, apa kau tidak memikirkan orang-orang di sekitarmu? Aku tahu kau mempunyai kekuatan seperti sihir, namun ... bisakah kau tidak egois?"

Jari-jari tangan itu mendarat pada rahang tegas Naruto. "Egois?" Ulang gadis itu. Matanya memandang teduh pada lawan bicara. "Kau tidak bisa mengatakan seperti itu padaku. Karena Ojizosama, aku harus melakukannya."

"Semua orang khawatir, termasuk diriku." Nada suaranya berubah lembut. Dengan berani ia meraih tangan itu, lalu menggenggam kuat sembari menatap lekat pada gadis di depannya. Hinata bergeming, mengamati bagaimana penampilan lelaki itu sedikit berubah, janggut tipis, rambut pirang bertambah panjang hingga menghalangi mata memandang bola mata biru. Lelaki itu menunjukkan perasaan tulus padanya.

"Kenapa?" Dengan polos ia memberikan majas retoris.

Mengingat kembali bagaimana perlakuan lelaki itu perlahan berubah, terus terang menunjukkan rasa peduli padanya.

Genggaman tangan kemudian mengendur, Naruto meletakkan perlahan pada atas selimut. Sudut bibir terangakat, kelopak mata turun. Wajahnya tampak tenang memandang, tanpa tahu bagaimana isi kepala tidak selaras dengan luar. Ia, berhari-hari membesuk gadis itu dan rela meninggalkan pekerjaan sesaat. Seseorang yang tidak pernah mengambil cuti, membuang waktu demi menunggu gadis itu terbangun.

"Karena kau tidak bekerja bersamaku lagi, aku tidak bisa menjawab 'karena kau anak magangku'. Maka aku akan menjawab sebagai lelaki biasa. bahwa aku menyukaimu."

Di saat yang tidak tepat, kenangan lama datang disebabkan rasa lama terhadap seseorang di masa lalu. Ia tidak bisa menyamakan lelaki pirang itu dengan sang mantan kekasih. Namun, dia tahu bahwa orang di depannya menunjukkan sikap teramat peduli. Aneh rasanya ketika begitu cepat menemukan seseorang baru setelah ditinggalkan.

"Aku tahu kau tidak suka bekerja," kata lelaki itu tiba-tiba. "Kau suka di rumah,'kan? Menjaga kucing, hamster, bersih-bersih rumah. Aku bisa mewujudkan semua itu jika kau mau." Mengepal tangan kuat, lalu menghela napas sebelum menatap kembali gadis itu.

"Jadilah istriku, maka aku akan mewujudkan semua itu."

Naruto memejamkan mata, tidak sanggup menatap lawan bicara. Rasanya, mengganjal dan menggelitik perut, diiringi jantung yang berdebar tidak karuan. Belum lama ini gadis itu putus, lalu tiba-tiba ia datang melamar, takut kehilangan sosok yang sangat berarti. Bagaimana cemas, kacau, dan khawatirnya, saat mendengar dan melihat gadis itu tidak sadarkan diri selama satu bulan. Tidak pernah ia merasakan perasaan ini sebelumnya.

UNBELIEVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang