"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Hinata mengedar pandangan sekitar pada depan pintu kafe. Memastikan kalau Toneri sudah lebih dulu di sana. Ponsel masih menempel pada telinga kirinya, agak menyebalkan karena harus mendengar ocehan dari sang kakak. "Aku baik-baik saja, kemarin atasanku menemaniku di apartemen. Sangat memalukan jika aku menangis di depannya. Meskipun begitu aku tetap baik-baik saja, entahlah ... ada sisi yang teramat sakit dalam diriku namun sisi lain ... ada perasaan yang sulit dijelaskan."
Dia berhenti memandang pada sudut ruangan kafe, ketika melihat Toneri ada di sana. Kebiasaan yang unik, tidak ada posisi terbaik selain di sudut ruangan.
"Aku titip salam pada Ibu. Hari ini aku sudah berjanji padanya untuk menyelesaikan masalah kami berdua. Oh, aku harap Ibu tidak mengkhawatirkanku."
Ia mengakhiri panggilan lebih dulu, memasukkan ponsel pada saku mantel bronze miliknya. Memejamkan mata sesaat sembari menghirup napas, sebelum jari-jari tangan menempel pada pintu. Setelah merasa sedikit tenang, Hinata memberanikan diri untuk masuk. Tersenyum pada Toneri yang tampak sulit membalas senyumannya.
"Maaf karenaku ̶ ̶ ̶"
"Aku sudah izin pada atasanku, lelaki berambut pirang kemarin. Tidak apa-apa, jangan pikirkan apa pun. Karena aku bukan pegawai tetap di kantor."
"Oh," gumam Toneri. Rasa canggung itu kembali hadir, ia bahkan tidak dapat menyembunyikan semua itu. Tidak seperti biasa yang mana ia selalu mengulurkan tangan lebih dulu, atau bahkan memberi pelukan tanpa rasa takut. Tetapi, cincin yang melingkar pada jari manisnya sebagai tanda pengingat untuk tidak melakukan itu semua.
Hinata menatap lelaki itu, sulit rasanya berpaling pada cincin yang dikenakan di sana. "Omong-omong," desisnya. "Ada banyak yang ingin aku katakan padamu, namun entah kenapa setelah bertemu denganmu pikiranku terasa buntu."
Lelaki itu tersentak, kedua bola mata di sana tidak dapat berbohong. Toneri mengalihkan muka sesaat, muram durja berganti. "Maafkan aku." Lirihnya sembari menunduk.
Tidak ada respons dari lawan bicara. Pun gadis itu bingung apa yang harus dijawab. Tidak ada gunanya Toneri meminta maaf. Selama ini dia sudah tahu kalau lelaki itu sudah bertunangan dua tahun setelah kematian ayahnya. Jika ayahnya tidak mati, mungkinkah dia akan memakai cincin yang serupa dengan lelaki saat ini?
Menengadah sesaat, apa pun yang terjadi ia tidak boleh menangis. Dia akan merasa sangat durhaka jika menyalahkan kematian ayahnya. "Kau tidak perlu meminta maaf," kata Hinata lembut. "Seperti yang aku katakan kemarin padamu, bukankah tidak akan ada yang berubah?"
Sesaat ia teringat dengan kalimat Naruto kemarin. Meskipun dia tidak sepenuhnya yakin kalau Toneri mencintainya dengan tulus. Jika lelaki itu mencintainya dengan tulus, tidak akan mungkin lelaki itu berbohong, atau bahkan memilih wanita lain untuk dinikahi. Tetapi, bila mengenai urusan keluarga. Ia sendiri bahkan tidak dapat membantah atau mulai mengoreksi bagaimana hubungan mereka.
"Apa kau mencintaiku?"
Tidak, tidak ... seharusnya bukan seperti ini.
"Begitu ya?" Toneri menatap lekat bola mata berwarna thistle di depannya. "Aku mencintaimu, sangat. Bahkan aku tidak berani berkata jujur padamu, karena aku takut kau membenciku. Meskipun ini semua salah dan tidak seharusnya kita tetap seperti ini. Aku selalu menunggu dan memilih momen yang tepat untuk mengatakan semuanya padamu, namun justru aku terbawa suasana dengan waktu yang kita habiskan bersama. Semakin lama aku tidak ingin jauh dari sisimu."
Rasanya benar-benar sesak hingga membuat emosi itu meluap. Mata tidak dapat berbohong. Seperti saat ini air mata itu telah jatuh mengenai punggung tangannya. Hinata tidak menghapus itu dan membiarkan perasaan ini meluap hingga selesai. Dia berpikir, semakin banyak kalimat kejujuran dari lelaki di depannya, maka semakin lama ia akan menangis pula. Tidak apa-apa ̶ ̶ ̶ kata-kata itu yang akan selalu menjadi penenang untuk hatinya. Mereka harus menyelesaikan semua ini dengan baik, hingga tidak ada lagi hal yang perlu diungkit. Hanya itu. Ya, hanya itu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNBELIEVE
FanfictionKetika dia selamat dari kecelakaan, tanpa ada luka sama sekali, orang-orang menganggap bahwa itu merupakan suatu keberuntungan. Namun tidak bagi Naruto, meskipun saat itu dia sedang mabuk. Mata masih sempat memandang seorang gadis tengah menolongnya...