Prolog

872 78 19
                                    

"Ra, pacaran yuk."

****

Langit Bandung malam itu tidak cerah sama sekali. Tak ada bulan, atau bahkan satupun bintang. Hanya ada angin yang berhembus kencang seolah pertanda sebentar lagi hujan datang menyapa.

Dua orang anak manusia berdiri di samping jembatan, memandang ke arah danau di depan sana yang dikelilingi cahaya dari jalan di sampinya.

Hanya ada keheningan selama 15 menit, hingga salah satunya menginterupsi.

"Ra, pacaran yuk."

Sosok 'Ra' mengalihkan tatapannya menjadi melihat pada seseorang yang baru saja berbicara.

Hanya sepersekian detik. Setelah itu sosok 'Ra' tersebut memalingkan pandangannya ke langit hitam di atas sana.

"Ara..."

"Apa?" ucap Ara menanggapi.

"Ayok pacaran."

"Udah gila."

"Ko gila si?"

"Serius loh Ra."

"Gerimis, Kak." Ara berbicara tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan padanya sebelum itu.

"Iya. Ayok pulang," ujar lelaki tersebut.

"Aku suka."

"Aku?"

"Hujan."

"Aku juga suka," ujar lelaki itu

"Hujan?"

"Ara."

Ara tersenyum sambil menghela nafas panjang

"Ara, hujannya nanti keburu deras. Ayok pulang," ujar lelaki itu

"Ara suka hujan, Kak. Kakak pulang aja duluan," jawab Ara

Sementara itu benar saja. Hujan mulai deras dan terlihat hiruk pikuk kota Bandung malam itu, di mana pengendara motor dan mobil saling berseru klakson. Pengendara motor yang tak mau kehujanan, pengendara mobil yang tak mau mengalah. Ya begitulan perjalanan.

Ara terdiam. Ia begitu menikmati tiap tetesan air yang mulai menderas. Begitu pula dengan bagian kesukaannya, bau hujan pertama kali. Ara menghirup wangi itu berulang kali. Menenangkan, pikirnya.

Sementara itu, seseorang yang Ara panggil Kakak itu tidak jadi beranjak. Dia malah terdiam di samping Ara tanpa mengatakan apapun.

"Ka... Hujan loh," ujar Ara.

"Karena aku suka Ara, jadi aku suka apa yang Ara suka. Aku suka hujan sekarang," ucap lelaki tersebut.

"Suka hujan karena aku? Atau suka aku karena hujan?"

"Maksudnya?"

"...."

"Ra.. dingin banget ini. Masa mau hujan-hujanan si. Udah malem," ujar lelaki itu.

"Ara udah lama ga hujan-hujanan. Kangen."

"Yauda sebentar."

Lelaki tersebut kemudian pergi, entah kemana. Berjalan ke trotoar jalanan dengan langkah cepat berupaya menghindari hujan, padahal dia sudah kuyup sejak awal.

Sekitar 2 menit berlalu hingga sosok itu muncul lagi di sebelah Ara.

"Nih," ujarnya sambil memberikan dua benda di tangannya.

"Ih gamau," ujar Ara.

Lelaki tersebut terdiam. Dengan gerakan cepat ia membuka salah satu benda di tangan kanannya. Yaitu payung.

Benar. Lelaki tersebut membawakan sebuah payung dan jas hujan plastik yang dia beli di sebrang sana tadi. Ia pikir, setidaknya tubuh Ara tidak akan terus menerus kedinginan karena derasnya hujan di malam itu.

Setelah payung terbuka, ia memayungi tubuhnya dan tubuh Ara.

Namun di detik berikutnya Ara bergeser menghindari payung tersebut.

"Ra..."

Lelaki tersebut mendekatkan payung ke arah Ara namun tetap saja Ara melangkah menjauh.

"Ra. Sini."

"Kaa... It's okey aku udah sering hujan-hujanan kok."

"Tapi ini malem."

"Ya gapapa."

"Pake payung atau kita pacaran?!" ujar lelaki tersebut.

Tak ada jawaban dari Ara hingga di menit berikutnya lelaki tersebut kembali memayungi tubuh Ara. Namun Ara bergeser lagi.

"Yaudah pacaran berarti," ucap lelaki tersebut.

"Yaudah pake payung," sahut Ara lalu mendekatkan diri hingga tubuhnya terlindungi payung.

Namun di menit berikutnya payung tersebut ditutup.

"Tapi payungnya udah ditutup. Jadi gaada pilihan."

"Dih masa gitu. Sini buka lagi."

"Gabisa. Dikunci."

"Kaa..."

"Sekarang kamu jadi Ara-nya Raneza."

Iya Raneza. Dia Raneza Langit Bagaskara. Orang pertama yang genggamannya menjadi bagian kesukaan Ara. Orang pertama yang wangi tubuhnya Ara ceritakan saking Ara menyukainya.

Tapi ini baru prolog...

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang