"Percepat langkahmu, sebentar lagi hujan turun."
Derap langkah kaki terdengar semakin cepat di pinggiran hutan yang sepinya jauh mengalahkan suasana Konoha di malam hari. Seiring menggelegarnya petir di langit, iris hitam Sarada kian liar mengawasi keadaan sekitar. Kabar angin yang beberapa waktu lalu ia dengar, mengatakan bahwa di daerah perbatasan Konoha bagian barat kembali dihuni oleh sekelompok penjahat. Katanya juga, penjahat itu akan merampok barang-barang dari setiap orang yang berhasil mereka lumpuhkan.
"Astaga, ini sudah yang paling cepat, 'ttebasa. Kau kira aku punya kekuatan apa sampai langkahku mengalahkan kecepatan Hokage Keempat?" Sosok cowok berambut keemasan menggerutu. Ia membawa beberapa barang di punggungnya.
"Lambat," lirih Sarada.
"Kau yang lambat."
"Oi, jangan ribut. Kalian lupa kita berada di mana?" Giliran sosok cowok berambut kebiruan yang menempatkan diri sebagai pemutus rantai perdebatan dua rekannya. Kulitnya pucat sekali, dengan mata keemasan yang terlihat indah di dalam suasana temaram. Langkah kakinya berada di posisi paling belakang guna memastikan bahwa barang bawaan Boruto tak ada yang terjatuh.
Boruto menggerutu lagi. Ia melirik Mitsuki yang berada tepat di belakangnya.
Sarada bernapas lega ketika gerbang desa mulai terlihat. Iris hitamnya sedikit ditajamkan guna memastikan siapa sosok yang kini menjaga gerbang. Dari jarak sejauh ini, Sarada kira itu sosok Mirai, terlihat dari gaya berdirinya yang selalu sedikit sinis. "Kita hampir sampai. Nanti setelah melaporkan misi ke Kantor Hokage, kita bubar, pulang ke rumah masing-masing."
"Tak perlu diingatkan," sinis Boruto, "aku juga tahu, kok."
Sarada memilih untuk tak membalas ucapan Boruto, membalasnya sama saja dengan memperburuk suasana malam ini.
"Omong-omong, untuk apa kita diberi misi mengamankan tanaman aneh begini, sih? Misinya hanya sehari. Benar-benar misi pulang-pergi." Boruto berkomentar lagi ketika mereka tiba di gerbang.
"Kalian tepat waktu. Cepat bawa ke tempat Hokage Ketujuh sebelum hujan turun." Mirai menyambut dengan datar sembari melipat kedua tangannya di depan dada. Rabutnya yang pendek sempat bergoyang karena angin kencang.
Mitsuki lekas mengangguk, kemudian memimpin jalan memasuki Desa Konoha. Sarada menyusul cowok pucat itu dengan langkah yang sama lebarnya. Sementara Boruto? Gerutuan kembali terdengar dari mulut cowok itu. Langkahnya setengah diperlambat karena menahan kesal.
"Sarada, jawab pertanyaanku yang tadi! Aku yang repot membawa semua ini, tapi kalian pelit informasi, 'ttebasa, semuanya dirahasiakan dariku," kesal Boruto. "Sebenarnya tumbuhan aneh ini dibawa untuk apa?"
Sarada menoleh pada Boruto sebelum melewati lampu penerang di pinggiran jalan. "Salahmu karena datang terlambat di rapat pemberian misi! Coba kalau kau tepat waktu, pasti kau tahu apa guna tanaman itu!"
Gelegar petir terdengar dari langit. Angin pun berembus kian kencang tepat ketika Boruto, Mitsuki, dan Sarada mengambil langkah lurus di perempatan jalan. Gerai-gerai ramen masih banyak yang buka meski pengunjung mereka jelas tinggal hitungan jari, pun begitu dengan gerai sake.
"Ayo, bergegas," ucap Mitsuki.
"Jadi, apa gunanya tanaman ini?" Boruto masih bersikeras ingin tahu. Masalahnya, tanaman berbunga biru yang ada di dalam keranjang bawaan Boruto itu punya aroma semerbak sekali. Kalau harumnya seperti parfum Himawari atau Sarada, sih, Boruto tak masalah, tapi ini aromanya malah seperti makanan basi.
"Itu untuk penelitian," sahut Sarada yang akhirnya menjawab jujur. "Akan diteliti untuk bahan campuran obat-obatan."
Mulut Boruto akhirnya membentuk lingkaran. "Ooh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Future? [BoruSara Fanfiction]
FanfictionEnd- Future? [BoruSara Fanfiction] Untuk pertama kali dalam hidupnya, Boruto akui ia menyesal karena telah menolong seseorang. Andai malam itu ia bergegas pulang seperti apa kata Sarada, mungkin ia tak akan terlibat dalam ramalan tengah malam. Hari...