Akane tersenyum. "Ancaman macam apa itu? Memang kau berani membunuhku? Ingat, kita harus membalaskan dendam Ayah pada desa ini. Bayangkan, Mia, jika Boruto dan rekan-rekannya yang notabenenya adalah kelompok shinobi kebanggaan Konoha tewas di sini. Aku yakin, seluruh dunia akan menganggap bahwa Mizūmigakure tak layak untuk berdiri tegak. Desa ini akan kembali dikucilkan, asing, jauh dari kedamaian." Akane mengepalkan tangannya. "Saat itu tiba, kita akan memusnahkan desa ini. Kalau keluarga kita tak dapat memimpin, maka siapa pun juga tak boleh."
Mia tertegun menatap kebencian yang berkobar di wajah Saudarinya.
"Jadi, berani membunuhku, Mia?" lirih Akane tersenyum pada satu sudut bibirnya.
"Cih. Kalaupun kami mati di sini, kelompok shinobi Konoha lainnya akan lebih dulu menebas lehermu sebelum kau mengacaukan desa ini." Boruto menopang badannya dengan pedang sebelum berdiri. "Biar aku yang membunuhmu, kalau begitu," bisiknya.
Akane menoleh. Oh, jadi kini dirinya dikepung dari tiga arah oleh Adiknya, Mitsuki, serta Boruto?
"Kalian tahu, andai kalian menjadi aku, kurasa kalian juga akan melakukan hal yang sama denganku. Siapa yang mau untuk susah payah berbuat baik tapi tetap tak dihargai? Mia, kau tahu kalau Ayah dan Ibu adalah tonggak awal dari hidupnya Mizūmigakure. Seharusnya desa ini milik kita! Seharusnya kita menjadi keluarga terpandang di sini! Seharusnya ... jabatan kepala desa tetap ada di tangan keluarga kita. Tapi sekarang, apa? Semuanya diambil oleh mereka! Mereka yang bahkan tak pernah mengeluarkan sedikit pun tenaga mereka untuk membangun Mizūmigakure di awal dulu." Akane menatap Mia, menahan sesak yang kembali hadir. "Aku hanya ingin membalaskan dendam Ayah, bahwa seharusnya keluarga kita dihargai di desa ini!"
"Tapi Ayah tak pernah dendam pada Mizūmigakure!" bentak Mia. "Ayah tak pernah dendam, begitu juga dengan Ibu. Yang punya dendam sebesar ini hanya kau seorang, Akane!"
Akane mengernyit.
"Hanya kau, Kak." Mia menatap Akane penuh iba. Sebelah tangannya mengusap pipi sang Kakak dengan lembut. "Apa kau tega membunuh kami semua demi kepuasan dendammu?"
Kobaran api menyala di sekeliling mereka. Akane merasa semakin disudutkan. Benak wanita itu kalang kabut mencari jalan pintas yang dapat memungkasi cerita ini, agar tak berlanjut lebih lama dan dapat diakhiri dengan kemenangannya. Mizūmigakure harus berada dalam kuasanya, harus musnah dengan kekuatannya. Ia harus menang, sekalipun dengan cara melukai Mia.
Boruto menatap Sarada dari posisinya. Gadis itu terlihat begitu kacau, yang jujur membuat Boruto merasa bersalah. Ternyata semua ini berawal dari kekurangtelitian dirinya. Mestinya Boruto bisa lebih baik dalam menganalisis semuanya, lebih baik dalam memutuskan perkara, lebih kuat dalam melindungi Sarada, lebih gesit dalam setiap pergerakannya. Benaknya mengingat obrolan singkat antara dirinya dan Sarada di lubang tadi. Nyaris, Boruto nyaris menyatakan perasaannya di sana.
"Kau baik-baik saja? Hei, Sarada? Ini aku." Boruto mengusap kepala hingga bahu Sarada dalam minimnya pencahayaan, menatap perempuan itu begitu khawatir. Alisnya tertekuk sendu. Bibirnya terbuka tipis sarat akan kesedihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Future? [BoruSara Fanfiction]
أدب الهواةEnd- Future? [BoruSara Fanfiction] Untuk pertama kali dalam hidupnya, Boruto akui ia menyesal karena telah menolong seseorang. Andai malam itu ia bergegas pulang seperti apa kata Sarada, mungkin ia tak akan terlibat dalam ramalan tengah malam. Hari...