Hai semuanya, jangan lupa vote sebelum baca ya.
Jangan lupa juga untuk tinggalkan komen kritik, saran dan ocehan kalian selama membaca.
Jangan sangkut pautkan cerita ini sama cerita lain ya, karena ini murni hasil pemikiran aku.
Selamat membaca...
🍃🍃🍃
Sejauh apa pun aku pergi, tampaknya tidak akan pernah ada rumah sebagai tempat untuk kembali.
***
Butiran kapsul berwarna-warni menjadi barang terakhir yang ia rapikan pada meja kecil disudut kamar. Sudah lebih dari satu tahun lamanya ia harus mengonsumsi obat-obat penenang yang diberikan oleh psikiaternya selama tinggal di Malang.
Sebenarnya ia sudah bosan bahkan malas untuk mengonsumsi semua obat itu lagi. Namun jika tidak, semua ketakutan serta kecemasannya selama ini pasti akan sulit untuk dikendalikan.
Agacia—atau yang biasa dipanggil dengan sebutan—Cia baru saja tiba di Jakarta pada siang ini. Kota di mana ia dilahirkan dan dibesarkan hingga dua tahun yang lalu, sebelum akhirnya kedua orang tua gadis ini memutuskan untuk pindah ke Malang karena satu dan lain hal.
Gadis berkulit kuning langsat itu kini tengah memijat pundak kiri dan kanannya secara bergantian. Kedua pundak itu terasa pegal setelah mengangkat 5 boks karton berisi barang-barang pribadi miliknya. Akhirnya setelah seharian penuh merapikan semua barang di dalam kamar, Cia mempunyai waktu untuk memanjakan tubuhnya sebentar saja.
Cia menatap sekelilingnya. Tidak banyak perubahan yang signifikan dari ruang kamar dengan ukuran 5 m x 6 m itu. Semuanya masih tampak sama seperti dulu. Ia bersyukur karena bisa kembali lagi ke rumah ini dan mulai membuka lembaran baru, seperti ucapan kedua orang tuanya. Namun ia juga benci dengan tiap sudut ruangan di rumah ini yang memberikan banyak trauma dalam kehidupannya.
Embusan napas Cia terdengar gusar. Rasanya sakit sekali jika tidak sengaja mengingat semua kejadian kelam di dalam hidupnya. Apalagi kejadian terakhir yang harus ia alami. Kejadian yang membawa dirinya harus kembali ke rumah ini lagi.
“Danela! Aku memang selingkuh sama perempuan itu, tapi setidaknya aku tetap penuhi kewajiban aku sebagai seorang suami dan ayah untuk anakku!” Suara teriakan Dika yang menggelegar dan penuh amarah malam itu terdengar hingga kamar Cia yang letaknya cukup jauh dari ruang keluarga.
“Dengan semua itu, kamu merasa kalau diri kamu benar? Iya?!”
Karena dihantui rasa penasarannya, Cia berjalan mengendap mendekati ruang keluarga dan bersembunyi dibalik tembok yang membatasi ruangan itu dengan tangga menuju lantai 2 rumahnya di Malang.
Dika mengangkat tangan kanannya dan menunjuk wanita yang merupakan istrinya itu dengan mata merah menyala. “Jaga omongan kamu, Danela! Seandainya kamu tidak menikah denganku, kamu tidak akan pernah ada diposisi seperti ini!”
“Aku? Jaga omongan aku?! Kalau kamu mau aku jaga omongan aku, kamu juga harus jaga tingkah laku kamu di luar sana, Dik!” lawan Danela kembali.
Plak!
Sebuah tamparan kasar beserta rintihan terdengar jelas ditelinga Cia. Rintihan yang keluar dari mulut Danela itu benar-benar menyakiti hati kecilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AGASTYA [ END ]
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "Cinta itu hanya membawa luka yang berakhir menjadi duka." Cia tidak pernah mengira bahwa cinta yang membuatnya bahagia akan menjadi cinta yang membuat dirinya mempunyai fobia. Philophobia, fobia jatuh cinta. Itulah fobia ya...