Halo semuanya, nungguin gak?
Jangan lupa vote dulu sebelum baca!
Udah?
Oke, selamat membaca.
🍃🍃🍃
Perbedaan tercipta untuk sebuah keberagaman bukan sebuah keanehan.
***
"Nilai ujian tengah semester kamu turun semua dan kamu masih berani untuk pergi main tanpa seizin Papa?"
Cia yang baru saja sampai di rumah sudah disuguhi pertanyaan seperti itu oleh papanya.
"Aku cuman pergi satu malam, Pa. Udah ini juga aku bakal belajar kok," jawab Cia sedikit ketakutan.
Dika menarik lengan Cia dan menyeret tubuh mungil itu ke atas sofa. Setelahnya, laki-laki itu mengambil sebuah rotan yang ada di atas meja. Di saat yang bersamaan, Cia langsung menutupi wajahnya dan menaikkan kakinya ke atas sofa. Ia benar-benar takut dengan rotan yang ada di tangan papanya saat ini.
Tanpa basa-basi, sebuah pukulan keras berulang kali mendarat pada tubuh Cia tepat di bagian kaki dan juga lengannya. Untung saja Cia terus menghalangi wajahnya.
Setelah merasa dirinya aman, Cia menurunkan sedikit lengannya. "Papa udah selesai marahnya?" tanya Cia dengan menahan rasa sakit.
"One more things. Kata Mama, kamu mau berhenti jadi pengurus OSIS di sekolah. Benar?" tanya Dika memelankan suaranya.
Cia mengangguk perlahan. Dika yang masih dipenuhi amarah melempar rotan ditangannya ke sembarang arah. Membuat Cia terkejut mendengarnya.
"KAMU ITU BEGO ATAU GIMANA SIH?! KAMU BELUM SATU SEMESTER ADA DI SEKOLAH INI!!! KALAU KAMU KELUAR ... KAMU AKAN BIKIN MALU PAPA KARENA PAPA YANG DAFTARKAN KAMU UNTUK MASUK OSIS!"
"Aku gak nyaman, Pa. Lagi pula aku kan yang jalaninya? Aku mau fokus sama pelajaran biar nilai aku bagus semuanya," cicit Cia.
"Semuanya itu bisa berjalan beriringan! Kamu yang harus bisa bagi waktu! Jaangan taunya main aja, kamu udah besar! Pikirin masa depan kamu, bukan kesenangan kamu yang hanya sesaat!" tekan Dika dengan geram.
Cia hanya terdiam mendengarkan ucapan Dika. Ia tidak ingin melawan. Tubuhnya terlalu lelah untuk melakukan itu.
"Satu minggu ke depan, Papa ambil semua fasilitas kamu! Semua kartu kredit dan kartu debit kamu, Papa sita! Kamu gak boleh minta antar jemput ke Pak Ujang dan kamu gak akan dapat uang jajan selama satu minggu ke depan!" hukum laki-laki yang masih mengenakan pakaian kantor itu.
"Tapi, Pa—" Cia menggantungkan ucapannya. Napasnya mulai kembali terasa tersengal-sengal.
"Gak ada alasan! Itu hukuman buat anak kurang ajar kayak kamu!"
Cia menelan salivanya dengan susah payah. Perlahan ia berdiri dari sofa dan berjalan menuju tangga. Dilihatnya Danela yang terduduk di atas kasur kamarnya yang terbuka.
Danela menatap Cia dengan wajah iba. Namun Cia memasang wajah kesalnya.
Bukannya Mama yang larang aku untuk bilang ke Papa soal pengunduran diri sebagai pengurus OSIS? Tapi kenapa Mama malah bilang sih, Ma? Mama udah bikin aku kecewa 'lagi' malam ini...
***
Cia masih dapat merasakan luka lebam di kaki kanannya. Rasa sakit yang berdenyut setiap berjalan membuat ia sedikit meringis kesakitan.
KAMU SEDANG MEMBACA
AGASTYA [ END ]
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "Cinta itu hanya membawa luka yang berakhir menjadi duka." Cia tidak pernah mengira bahwa cinta yang membuatnya bahagia akan menjadi cinta yang membuat dirinya mempunyai fobia. Philophobia, fobia jatuh cinta. Itulah fobia ya...