Jika terus-menerus menjauh, apakah kita harus tetap-menetap dan bersungguh-sungguh?
***
Pancaran senyuman terpancar dari wajah Agas pada hari ini. Pria itu berniat untuk menemui Ivara. Memberikan buku diary-nya dan berharap bisa berbincang walau hanya seperkian detik saja.
Awalnya tidak ada yang janggal. Hingga ia melihat anak Aderfia dan juga tiga sahabat Cia yang berdiri di depan kelasnya. Ditambah lagi, raut wajah mereka benar-benar menimbulkan banyak tanya di dalam benak Agas saat pertama kali melihatnya.
“Lo semua ngapain di sini? Bel masuk sebentar lagi, mau bolos berjamaah?” guraunya.
Pandangan pria itu mengedar. Baru ia sadari, bahwa Cia tidak ada di sana. “Cia mana?” tanyanya kemudian.
Keheningan semakin terjadi. Tidak ada yang berani membuka suara. Siapa juga yang ingin berbicara ketika mendapatkan kabar yang membawa luka.
“Lo yang ngomong, Kak!” desak Talisa dengan nada suara yang sangat rendah. Meskipun berbisik, suara gadis itu masih terdengar samar-samar di tengah lorong sekolah yang sunyi.
Hati dan pikiran Agas saling bergumul satu sama lain. Bergulat hingga menciptakan lebih banyak tanda tanya. “Ada apaan sih? Sumpah kalau sampai gak jelas gue getok ya lo semua!” katanya dengan nada yang sedikit kesal namun masih terdengar bercanda.
Terdengar embusan napas Gavin beberapa saat kemudian. Pria itu maju beberapa langkah dan menepuk salah satu pundak Agas dari depan. “Cia pergi ke Australia tadi pagi, Gas. Mungkin dia gak akan balik lagi.”
Raga tubuh Agas seperti terhantam truk besar bermuatan maksimal 2,2 ton beratnya. Bukan dirinya lagi yang remuk, melainkan ruh yang ada di dalamnya. Rasa sakit yang ia terima sudah tidak dapat ia rasakan lagi.
“Gas! Lo gak apa-apa?” tanya Ragil.
Agas masih tidak bergeming sama sekali. Kabar itu ibarat mimpi terburuk di dalam hidupnya selama ini. Ia baru saja kembali bisa berharap tinggi setelah membaca jurnal kesehatan mental milik Cia. Tapi dengan kepergian gadis itu? Bagaimana lagi ia harus berharap?
Gadisnya pergi. Terbang tinggi ke tempat yang jauh dari tempatnya berdiri.
Setelah cukup lama terdiam, Agas mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana. Berniat untuk menghubungi Cia.
“Kak,” panggil Aza seolah tahu apa yang akan dilakukan pria itu. Perlahan tangan Aza mengulur ke depan dengan telapak yang memegang 8ponselnya. “Ada pesan untuk Kakak di sini,” katanya kemudian.
Tangan kanan Agas mengambil ponsel milik Azalea. Tanpa berpikir panjang, ia pun membaca pesan tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
AGASTYA [ END ]
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "Cinta itu hanya membawa luka yang berakhir menjadi duka." Cia tidak pernah mengira bahwa cinta yang membuatnya bahagia akan menjadi cinta yang membuat dirinya mempunyai fobia. Philophobia, fobia jatuh cinta. Itulah fobia ya...