44 - Epilog

632 85 17
                                    

"Teori happy ending itu tidak sekedar teori, tapi bisa terlaksana apabila kita mau berusaha."

{Magician}

<ᗕ۝ᗒ>

Angin berhembus, membelai lembut rambut seorang gadis. Netra indah itu mengisyaratkan kesedihan yang mendalam, yang dia tutupi dengan senyum kosong pada udara.

Tak lama, seorang pemuda yang terpaut beberapa tahun di atasnya datang, memeluk si gadis erat-erat. Ditumpukanlah dagunya pada bahu si gadis, berbisik lembut di telinganya.

"Udahan dong, nangisnya Sheila. Sarah sama Edo gak bakal suka adik kecilnya gini."

"Kak Zahr! Aku bukan anak kecil, ya!"

Pemuda itu—Alvand—terkekeh pelan. Jemarinya bergerak, menjawil hidung Sheila gemas. Tindakan sederhana, tapi sukses membuat Sheila bersemu malu.

"Terserah. Jadinya gimana? Bunda setuju?" tanya gadis itu.

Mendapat anggukan, Sheila tersenyum senang. Langsung saja dia memeluk pemuda di hadapannya erat-erat, menenggelamkan wajahnya di dada bidang itu.

Alvand melepas pelukan itu dengan lembut, menatap gadis di hadapannya.

"Memang sih, Bunda setuju. Tapi—,"

"Tapi apa? Masa Kak Zahr ngerayu selama setahun ini masih belum cukup?" potong Sheila dengan tatapan tidak percaya.

Alvand terkekeh geli. "Bunda kasih ijin, kok. Tapi, Bunda minta pernikahannya diundur dulu, tunggu Frida dan Freya sehat."

Mendengar dua nama non-Magician yang terlibat masalah cukup rumit antara dua kubu Magician tahun lalu, mengubah raut kesal Sheila menjadi sedih lagi. Gadis itu masih ingat persis, bagaimana kakak kembarnya dulu berkorban untuk keselamatan semuanya.

Setelah kejadian itu, para petinggi jake Magician membuat kesepakatan untuk menyegel para wicked Magician yang ada. Underground kini sudah dipindahkan ke dimensi tak berujung, membuat siapapun yang ada di sana tidak hidup dan juga tidak mati.

"Hey, kenapa murung, hm?"

"Kakak—,"

"Oy! Di sini ternyata lo, Bang."

Keduanya segera melepas pelukan, menjaga diri dalam jarak aman. Dari arah samping mereka, datang seorang gadis berbaju gamis dengan wajah ditekuk kesal. Dia segera mendekat, menatap keduanya dengan tangan bersedekap.

"Ngapain tadi? Pacaran?" tanyanya.

"Nggak, Nad. Kita diskusi soal resepsi dll, kok," elak Alvand santai.

Ya, gadis yang barusan datang itu adalah Nadira yang kini masih mendelik tajam pada Alvand seakan tidak percaya. Matanya beralih pada Sheila, mencari kebenaran di sana.

"Gue gak tahu Bang Alvand jujur atau gak. Gue juga gak bakal ngotot karena masalah tata krama. Tapi sama lo, gue bahkan bisa pakai kekerasan kalau lo masih ngeles terus." Ditelisiknya wajah ayu Sheila yang terdapat bekas luka di dekat matanya. "Lo habis ngapain sama Bang Alvand?" ulang gadis itu.

Belum sempat Sheila memberikan jawaban, gadis lain datang tergopoh-gopoh dengan wajah panik. Begitu sampai, dia membungkuk sedikit, mengatur napasnya.

Kehadiran gadis itu sukses membuat Alvand terlihat seperti pria mesum yang mendekati tiga orang gadis sekaligus. Meski begitu, mari kita kesampingkan dulu soal itu dan mendengarkan penjelasan dari gadis yang baru tiba—Nabila.

Kalian masih ingat Nabila, kan? Itu lo, anak perempuan yang merupakan kakak Freya. Gadis anggun yang seumuran dengan Violla.

"Ada apa, Nabila? Kok lari-lari?" Nah, kalau barusan ini suara Nadira. Anak yang pada dasarnya kalem itu mengelus punggung Nabila lembut, menunggunya mengatur napas.

"Freya, Kak." Ucapannya terhenti. Napasnya tercekat saking besarnya kabar kali ini. Alvand dan Sheila tampak gemas. Ingin rasanya mereka mendesak Nabila jika saja Nadira tidak melayangkan ancaman lewat tatapan matanya yang tajam.

"Tenang dulu, oke? Ada apa sama Freya?" ulang gadis itu lembut. Nabila menurut. Dia menenangkan diri, lalu setelahnya berdiri tegak menatap Nabila cemas. "Freya sudah sadar."

"Alhamdulillah. Terus, kenapa kok cemas gitu?" Nadira masih tidak paham, mengapa Nabila harus cemas kala adik yang sudah setahun koma itu tersadar?

"Itu dia masalahnya, Kak."
Nabila tidak langsung berujar. Ditatapnya Sheila dengan raut ragu. Menyadari tatapan gadis sebayanya itu, Sheila menyentuh bahunya lembut sambil mengangguk, meyakinkan Nabila untuk mengatakan apapun yang terjadi.

"Adik ... hilang ingatan."

<ᗕ۝ᗒ>

"Saya tidak tahu apa yang terjadi. Terdapat kerusakan parah di otaknya, tetapi tidak ada bekas cidera apapun di tubuhnya."

Alvand yang sedang duduk di sebelah Gina kini sedang panik dan cemas sendiri. Gina sendiri, tampak tetap tenang menanggapi penjelasan dokter, meski dalam hati dirinya sudah ingin menangis saking tak percayanya.

Memang, semua orang yang terlibat sepakat untuk tidak mengabari keluarga Freya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Bukannya apa, hanya saja, status Magician masihlah harus disembunyikan, membuat mereka tidak punya pilihan.

Untunglah, Frida adalah mantan Magician, sehingga kedua orang tuanya tidak mempermasalahkan kecelakaan ini. Jika kalian bertanya, mengapa orang tua Frida tidak marah meski anaknya koma nyaris setahun lamanya?

Jawabannya sederhana. Kasus seorang Magician yang tumbang dalam beberapa bulan bahkan tahun, bukanlah hal baru. Semakin sengit perkelahiannya, semakin lama Magician itu akan tertidur.

"Begitu, Bu."

Aih, kita terlalu asik mengobrol sana sini sampai lupa dengan situasi saat ini. Lihatlah, dokter sudah selesai menjelaskan, kita jadi tidak tahu apa saja yang beliau katakan.

"Apa tidak ada peluang agar ingatannya kembali?"

Gelengan lemah dari dokter mengacaukan segalanya. Rasa bersalah Alvand semakin menjadi. Andai saja. Andai dia dan Deryl tidak menyeret Freya, gadis belia itu tidak perlu merasakan ini semua.

"Kami hanya bisa berkata bahwa kami akan berusaha sebisanya."

"Baik. Terima kasih, Dok."

Baru juga keluar dari ruangan, ada energi sihir pengirim pesan yang menuju Alvand. Pemuda itu pamit pada Gina dengan alasan mengambil baju ganti, lalu menghubungi Sheila—mengajaknya bertemu di SMA Himekara.

<ᗕ۝ᗒ>

Perintah langsung dari para petinggi, tangkap para wicked Magician yang tersebar di daratan sebelum pecah peperangan besar untuk kedua kalinya.

"Ini serius?"

Deryl, Daniel, Alvand, Octavianus, Skyle, Reinnais, dan Sheila saling tatap. Pesan ini, jelas akan membuat mereka tidak bisa tenang dalam waktu dekat.

Daniel menghela napas, meyakinkan diri. Ini tugas yang terlalu berat untuk remaja seperti mereka, tapi bukan berarti mustahil. Mereka sudah pernah melakukannya sekali, pasti mereka bisa mengulangnya sekali lagi.

"Kita pernah lakuin itu tahun lalu, kan?" Daniel memberikan senyuman terbaiknya, menenangkan semua remaja yang berusia lebih muda darinya. "Kita pasti bisa lakuin itu lagi."

"Oke, oke. Ayo kita lakuin."

"Oke."

"Tentu."

944 kata
5 Jan 2022

==============<⟨•⟩>==============

School: Magician [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang