33 - Kabar

259 73 2
                                    

Tut ... tut ... tut ....

"Maaf, nomor yang Anda tuju, sed—," 

"Astagfirullah! Lo ke mana, sih, Der! Tiga minggu gak ada kabar! Pinter banget bikin gue khawatir."

Pemuda itu membanting ponsel baru milik temannya, ke kasur si pemilik. Dengan kekesalan maksimal, dirinya melempar diri ke tempat tidur, menenangkan diri.

"Woy, Einstein! Gue tahu lo lagi kesel, tapi bisa, gak, gak usah banting HP gue? Itu masih baru dibeliin minggu lalu, be*o," umpat si pemilik sambil mengusap-usap ponselnya.

"Lo, kan, sultan. HP lecet dikit aja, dah ngoceh. Ngeselin, tahu, gak?"

Aldi balas mengomel, padahal, jelas-jelas dia yang salah. Sudah memaksa pinjam, memalak pulsa, lalu setelah selesai seenaknya melempar ponselnya seakan itu tak bernilai lagi.

"Heh, be*o! Gue tahu, lo lagu emosi, tapi sadar diri, dong! Gue geplak juga, lo, lama-lama."

Aldi tidak menjawab. Dia malah menutup matanya dengan lengan. Benar-benar, deh, anak ini!

Abi sendiri jadi ikutan kesal. Sudah dibantu, malah kena marah. Sikap temannya ini memang selalu menyebalkan kalau sudah berhubungan dengan sang kembaran.

Dasar. Yang cewek si Frida, tapi yang PMS lo. Dosa apa gue sampai kudu ngeladenin cowok macam lo, batinnya nelangsa.

Tok ... tok ... tok ....

Ah, siapa pula tamu yang datang kali ini? Abi menggeram kesal. Tidak bisakah orang-orang membiarkannya bersantai barang sejenak?

Aldi terlihat tidak akan beranjak. Yha, tidak ada pilihan lain. Pemuda itu harus beranjak membuka pintu.

"Siap—Eh? Frida?"

Omelan dan gerutuan yang nyaris meledak itu seketika menguap hilang kala melihat wajah si doi. Bersikap sok cool, Abi mempersilahkan tamunya masuk.

"Masuk, Da. Maaf, ya, agak berisik. Si Aldi uring-uringan soalnya lost contact sama Dercy," jelasnya sungkan.

"Eh? Dercy? Aku baru aja WA-an sama dia. Katanya, jurusan Magician ada kelas tambahan, jadi jam santainya berkurang," jelas Frida polos.

Berhasil.

Rengekan dan geraman Aldi yang uring-uringan sejak pagi langsung terhenti. Dia perlahan duduk, menatap Frida penuh harap.

"Dercy gak apa, kan? Dia makan teratur, kan? Istirahatnya gak kurang, kan? Dia—,"

"Stop, stop, stop. Aku bukan kurir kabar. Kalau kau penasaran, mengapa tidak pergi ke area jurusan Magician, sih? Dari pada uring-uringan begini, lebih baik kau langsung temui dia," saran Frida.

"Bener juga. Ayo."

Aldi menyambar jas almamaternya, memakai benda itu dengan gerakan buru-buru. Dia juga mengambil kaos kaki secara asal, memakainya sebagai pelindung sebelum bersepatu.

Dalam waktu singkat, pemuda itu sudah siap. Dia sudah berdiri di dekat pintu, tapi tidak berpindah tempat.

"Hey, ayo."

Kedua temannya tersentak kaget. Buru-buru mereka mendekat, mengikuti Aldi ke jurusan kembarannya.

Aneh.

Sungguh, ini aneh. Aldi, Frida, dan Abi, mungkin memang tidak hafal, siapa saja yang ada di jurusan Magician, tapi tim pengamat jelas hafal.

Dan, kita belum pernah bertemu dengannya sama sekali!

School: Magician [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang