42 - Amukan Penuh Kasih Sayang

248 67 1
                                    

"Jangan pernah mengganggu orang sabar, karena amarah mereka bisa saja setara dengan bencana akhir jaman."

{Magician}

<ᗕ۝ᗒ>

Duar!

"Heh, bangs*t! Mana adek gue?!"

Percaya atau tidak, itu tadi adalah teriakan Alvand. Iya, Alvand yang itu. Pemuda kalem nan dewasa kebanggaan SMA Chase dan SMA Himekara.

Dot tertawa melihat itu. Matanya menatap para pahlawan kesiangan yang ada dengan tatapan remeh. Satu persatu orang yang datang dia tatap, sampai akhirnya pandangan pemuda itu terhenti di Freya.

"He ... Tak kusangka, penerus utama sub-Klan Capone, Ariendra, berkhianat."

Deryl dan Daniel refleks maju di depan Freya, melindungi gadis mungil non-Magician dalam kelompok mereka. Margaretta, Luciana, dan Marina sendiri sudah dalam posisi siaga, siap bertarung jika memang diperlukan.

Melihat formasi mereka, Dot tertawa mengejek. "Aku tak habis pikir. Apakah kalian sudah gila, ya? Bagaimana bisa tiga orang non-Magician sampai terlibat dalam urusan peperangan kita?" tanyanya meledek.

Alvand tidak terima. Pemuda itu lebih dari paham siapa saja non-Magician yang dimaksud—Aldi, Frida, dan Freya tentunya. Dengan emosi memuncak, pemuda itu melesat maju, menyerang Dot.

"Bangs*t, lo! Lo apain adek gue?!"

Pemuda itu mengamuk-dalam arti sesungguhnya. Shu-wand-nya-tidak tinggal diam. Dia segera keluar, membantu tuannya bertarung.

Deryl yang melihatnya berdecak kesal. Dirinya masih tak habis pikir dengan kemarahan Alvand. Sebenarnya, apa yang membuat pemuda sesabar Alvand sampai mengamuk seperti sekarang?

Luciana dan Marina tidak tinggal diam. Merasa mendapatkan permainan yang seru, keduanya maju bersamaan—menghadapi Ivana. Daniel yang melihat kedua idolnya berkelahi, berdecak kesal.

Dalam hati, pemuda itu berpikir; apakah Luciana dan Marina lupa, jika mereka seorang idol? Keduanya tidak boleh terluka, tapi sekarang mereka justru terlibat perkelahian sungguhan yang bisa saja mengancam nyawa. Merasa tidak ada pilihan, pemuda itu menatap pemuda yang lebih muda di sebelahnya, berniat meminta bantuan.

"Deryl, gue tahu lo kuat. Gue pasrahin adek kecil ini ke lo. Luciana sama Marina kalau dibiarin berantem sendiri, bisa repot nanti," kata Daniel serius sebelum melesat membantu dua orang yang dia maksud.

Deryl mengangguk mengerti. Memang, dia dan Alvand yang menyeret Freya kemari. Itu artinya, dia dan Alvand pula yang harus melindunginya.

Jika kalian bertanya, bagaimana dengan Margaretta? Jawabannya sederhana. Wanita itu tengah menolong kedua putrinya, melepaskan mereka dari untai sihir yang mengikat keduanya.

Usaha Margaretta jelas tidak berjalan mulus. Ted—satu-satunya yang masih menganggur—menghalangi aksi wanita itu. Perkelahian tak terelakkan. Wanita tua yang sudah tidak bugar ini mulai kewalahan, kalah stamina dengan Ted yang masih belia.

Tangan Deryl terkepal kuat. Bagaimanapun caranya, dia harus menolong Margaretta. Pemuda itu melirik Freya. Dirinya bimbang, haruskah dia membantu Margaretta, ataukah melindungi Freya?

Seakan mengetahui kebimbangan sahabat temannya, Freya memberikan senyuman sembari mendorong pelan punggung pemuda di hadapannya.

"Kakak bantu Bu Margaretta aja. Freya bisa jaga diri, kok," katanya yakin.

"Gak, gak, gak. Mana bisa gue ngebiarin bocil sendirian di tengah perkelahian kayak gini," bantah pemuda itu tidak terima.

Deryl berusaha memantapkan hati. Untuk saat ini, Freya jelas lebih utama. Akan tetapi, Freya berpikir sebaliknya. Menurutnya, meningkatkan peluang kemenangan adalah hal yang utama—jauh lebih penting dari keselamatan seorang bocah tidak berguna sepertinya.

"Kak, aku sudah pernah menghadapi situasi ngeri kayak gini dua tahun lalu. Ah, tidak, tidak. Lebih ngeri malah. Kakak tenang aja, aku bisa jaga diri," kata Freya menguatkan.

Deryl menatap Freya lamat-lamat, sebelum beralih menatap Alvand yang mengerang kesakitan. Situasinya memburuk. Margaretta sudah kelelahan, sementara Alvand babak belur.

Daniel, Luciana, dan Marina jelas tidak mungkin berpisah. Mereka bertiga saja sudah kewalahan melawan Ivana yang notabenenya adalah Magician campuran hasil persilangan.

Tidak ada pilihan. Mau tak mau, suka tak suka, Deryl harus menolong mereka. Ditatapnya Freya sekali lagi, sebelum akhirnya pemuda itu menyerahkan gadis yang dilindunginya pada John.

"John, aku titip Freya," katanya sambil melesat maju.

"Baik, Tuan. Anda tenang saja, saya akan pertaruhkan nyawa saya untuk ini," balas wand itu tegas.

Sayang, kehadiran Deryl ke tengah perkelahian tidak memberikan terlalu banyak perubahan. Dalam waktu singkat, semuanya tumbang akibat ledakan yang Ivana ciptakan.

Sial. Freya terpojok. Enam Magician yang pergi dengannya sudah pingsan semua. Tersisa dirinya, non-Magician kecil yang tidak bisa apa-apa.

Ted, Dot, dan Ivana melangkah dengan senyuman di wajah. Freya tetap tenang, meski dalam diamnya gadis itu berpikir hingga batas akhir.

Ayolah, Frey. Mengapa otakmu selalu macet di saat genting, sih?!

John berdiri di depan Freya dengan tatapan bengisnya. Wand itu benar-benar mempertaruhkan nyawanya untuk melindungi Freya—persis seperti apa yang dia katakan.

Sayangnya, kemampuan John jadi melemah karena tuannya, Deryl, sudah terluka. Dalam waktu singkat, wand itu babak belur dihajar tiga Magician. Tidak ada lagi penghalang, membuat ketiganya menyeringai senang.

"Nah, Ariendra. Kau mau apa, sekarang?"

Freya tahu persis, kalimat yang baru saja Dot lontarkan bukanlah pertanyaan. Gadis itu tidak menjawab. Matanya menatap lurus ke depan, nyaris tidak berkedip.

Krak.

Ya, Freya mendengarnya. Suara robekan akibat dari dimensi penyimpanan yang dibuka paksa. Hanya Freya yang mendengar itu, dan ini adalah kabar baik.

Segera saja, gadis mungil itu menarik semua perhatian padanya. Dia sama sekali tidak membiarkan siapapun itu diketahui oleh lawannya.

"Aish, pakai tanya lagi. Berantem, lah," katanya enteng.

Sebelah alis Dot terangkat. Pemuda itu cukup tertarik dengan non-Magician pemberani di hadapannya.

"He .... Untuk ukuran anak 13 tahun, kau banyak lagak juga, ya," balasnya bersedekap.

Freya terkekeh. "Aku sudah mengalami banyak masalah sejak kecil. Menghadapi kalian bertiga, bukanlah suatu persoalan besar."

"Oh ya? Coba kita lihat. Sp—,"

Duar!

"Hey, kalau nyari lawan yang sepadan dikit napa. Masa anak kecil yang bahkan gak bisa sihir mau lo ajak berantem?"

"Entahlah, Yolanda. Sepertinya, para wicked Magician sudah kehilangan harga diri mereka sampai-sampai harus melibatkan empat orang non-Magician."

Kekesalan ketiga wicked Magician itu, bisa dibilang, mencapai puncaknya. Itu wajar, sih. Bagaimana tidak? Semua tawanan mereka—termasuk Aldi dan kedua temannya—kini sedang berdiri di seberang sana dalam keadaan sehat wal afiat.

Kepala Alvand terangkat sedikit kala mendengar suara orang yang dia cemaskan. Terlihat, kedua adiknya sangat sehat. Bahkan, Dercy ada dalam posisi siaga, hendak berkelahi.

Senyum pemuda itu terbit. Rasa lega melingkupi hatinya, membunuh kekhawatiran yang sedari tadi bersarang. Tak lama, dirinya tumbang—kehilangan kesadaran.

"Yolanda, aku tahu kau punya wand. Mau coba combo memakai wand?" tawar Dercy sambil mengulurkan kepalan tangan.

Yolanda membalasnya, membuat mereka saling tos untuk beberapa detik. "Jangan ngerepotin gue."

"Tentu. Ayo mulai."

1027 kata
01 Jan 2022

==============<⟨•⟩>==============

School: Magician [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang