25 - MMA

292 86 4
                                    

"Hidup itu sederhana. Jika kau mau bertahan, maka berjuang. Jika kau tidak mau berjuang, maka selamat tinggal."

{Magician}

<ᗕ۝ᗒ>

"Non-Magician, huh? Aku sebenarnya tidak ada urusan denganmu, tapi okelah. Sampaikan pada Kak Sarah, MMA menantang SMA Himekara dalam Magic Survival. Jika ada satu saja siswa SMA Himekara yang bisa memenangkannya, maka MMA akan berhenti mengusik. Itu saja, kami pergi dulu. Bye."

Rombongan itu pergi memasuki sebuah portal. Sisi lain portal itu berakhir di gerbang sebuah sekolah mewah nan elite yang ada di pusat Magic Town.

Pekikan panik langsung terdengar memekakkan telinga. Pelakunya ialah dua orang remaja berbeda gender yang berdiri di depan gerbang bak patung selamat datang.

"Astaga, Sei! Apa-apaan kau ini, hah?! Mengapa kau bisa babak belur begitu, Sheila?!"

"Siapa yang berani melukai Sei kesayanganku?! Siapa? Siapa?! Akan aku ratakan siapapun itu dengan daratan di bawah sana!"

"Ck. Diamlah! Samuel Peeters, dari pada mengoceh seperti itu, mengapa kau tidak mengobatiku saja, sih?! Temanmu ini baru saja terkena sihir kombinasi tingkat 2 akhir, aku butuh heal," kesal Sheila.

Pemuda yang berteriak pertama kali tadi, Samuel, nyengir memasang wajah tanpa dosanya. Tangannya merogoh saku, mengeluarkan sebuah spidol.

Pemuda itu menulis kata 'heal' yang langsung menyebar dan meresap dalam tubuh Sheila. Setelah selesai, dia kembali menyimpan spidolnya di saku celana, lalu nyengir untuk kedua kalinya.

"Hehe ... nah, sudah, kan? Sekarang, beritahu aku siapa anak SMA Himekara yang berani melukai ace MMA?" tanyanya.

"Reinnais Peeters," kata Sheila malas.

Gadis yang tadi diam menunggu itu terkaget entah kenapa. Dia menyengkeram bahu Sheila dan menatap tepat di manik matanya.

"Kau bohong, kan?! Mana mungkin Rein kecil yang penurut itu sampai berani melukaimu," katanya tegas.

"Tidak perlu sampai memakai sihir padaku seperti ini, Octavia Pheidippides. Coba kau pikir, memangnya siapa lagi yang punya peringkat di atasku di SMA buangan itu?"

"Tidak mungkin. Aku mengenal adikku itu. Dia tidak pernah memakai sihir untuk menyerang, kecuali orang yang dia serang itu lebih dulu membuat keributan. Jadi, apa yang kau lakukan?" analisis Samuel.

"Mengebom sekolah mereka dengan meteor api dan membuat Kak Sarah tak sadarkan diri. Itu saja, sih."

Genggaman di bahu Sheila semakin kuat. Mendadak, Sheila merasa tubuhnya sangat berat. Tanpa disadari olehnya, gadis bernama Octavia itu telah memakai sihirnya.

"Tidak tahu diri! Bersyukurlah kau kembaran Sarah, teman Octavianus. Kalau tidak, akan kupastikan kau tidak bisa menjauh dari tanah lagi. Ayo Sam. Mood-ku benar-benar jelek."

"Ah, kau benar. Aku tidak mau dibenci adik kecilku karena membunuh orang."

Samuel dan Octavia melenggang pergi, meninggalkan Sheila yang dilingkupi rasa kesal. Gadis itu berjalan masuk perlahan sambil menggerutu.

"Kak Sarah lagi, Kak Sarah lagi! Apa bagusnya sih, dia?! Gadis yang hidup dibelenggu kutukan tanpa bisa memakai sihir sepertinya tidaklah lebih baik dariku. Harusnya mereka menyukaiku, bukan Kakak!" kesalnya.

Tanpa disadari, langkah kakinya berakhir di taman akademi. Karena masih kesal dan sakit, gadis itu memilih untuk duduk di bawah pohon, tempat favoritnya di sini.

"Huh! Lihat saja nanti! Aku pastikan kalau aku yang akan menang di Magic Survival. Akan aku permalukan Kak Sarah di depan klan Pankhurst!" tekadnya.

"Tunggu saj—Hua! Edward! Kau mengejutkanku, sialan!"

Gerutuan itu terhenti, berganti dengan pekikan kesal karena seorang pemuda tiba-tiba melompat turun dari atas pohon, mengejutkannya. Dengan wajah tanpa dosa, si pemuda mendekat, duduk bersandar di sebelah Sheila dengan jarak yang nyaris tidak ada.

"Menepilah, Edward. Kau mengganggu pemulihanku," kesal Sheila.

Edward tertawa riang. Wajahnya tampak tanpa beban. Tanpa memprotes, pemuda itu memberikan jarak, lalu memulai obrolan.

"Kau, habis ditimpuk si imut itu ya?" tanyanya.

"Berisik. Salah kalian tidak mau membantuku. Aku terpaksa membawa para sampah tidak berguna itu untuk merusuh."

"Hey, jangan marah, lah. Aku bukannya tidak ingin membantu. Hanya saja ak—,"

"Hanya saja kau tidak mau merusuh di teritori tunanganmu walau kau benci pada adik laki-lakimu. Aku benar?" tandas Sheila galak.

"Itu tahu. Eh, tapi Sei, apa kau melakukannya seperti yang kusarankan?" bisik Edward.

"Ya, tentu saja. Aku membuat Kak Sarah pingsan, memaksa mereka ikut Magic Survival, dan pura-pura kalah dari si Rein sialan," jelasnya.

"Bagus! Sudah kuduga. Memang hanya Sei yang melakukan ini," bangga Edward bertepuk tangan.

Sei tersenyum. Untuk beberapa detik, dia memasang raut sombong. Akan tetapi, beberapa detik setelahnya, raut itu berubah galak, seperti bendahara yang menagih kas tunggakan.

"Aku memang bisa diandalkan, tapi kau juga lain kali tahu situasi, dong! Masa iya aku Harus ditimpuk pemberat sebesar itu?! Aku tidak mau tahu, kau harus tanggung jawab!" marahnya.

"Oke, oke, tenang."

Edward berdiri. Dia merapikan seragamnya yang kusut serta membersihkan kotoran yang menempel selama duduk. Dengan entengnya pemuda itu meloncat, mendarat di dahan kokoh yang ada di atasnya.

"Tunggu apa lagi? Lepaskan jasmu, aku akan mengisi ulang HP-mu," kata Edward pasrah.

Kuku-kuku jari tangan kirinya menusuk batang pohon di sebelahnya, sementara jari telunjuk tangan kanannya berubah menjadi sebuah kabel berujung jarum suntik.

Sheila tidak menolak. Dengan patuh gadis itu melepas jasnya. Begitu jas pelindung itu jatuh ke tanah, jarum itu menusuk tepat di punggungnya, lurus dengan dada bagian bawah.

"Tahan ya, Sei. Karena sumber HP-nya tanaman, jadi ini mungkin akan agak sakit," kata Edward sebelum memulai.

Benar saja. Begitu mata Edward berpedar redup, Sheila menggeram kesakitan. Urat-uratnya menonjol ke permukaan, membuatnya tampak seram. Di saat yang sama, urat itu seperti menggelembung teratur, menyalurkan sesuatu yang sepertinya adalah HP.

Beberapa menit setelahnya, proses menyakitkan itu terhenti walau HP Sheila belum sepenuhnya pulih total. Edward terpaksa menghentikan pengisian karena pohon yang dia pakai sebagai inang mulai mengering. Jika diteruskan, bisa dipastikan kalau pohon ini akan mati.

Yha, sebenarnya baik Edward maupun Sheila sama-sama tidak peduli akan hal itu. Meski begitu, mereka tidak bisa melakukannya karena jika sampai hal itu terjadi maka Octavia akan mengamuk.

"Baru 77%, tapi aku tidak bisa meneruskannya. Pohon ini bisa mati dan Octavia bisa meremukkan kita berdua. Kau tidak keberatan, kan?" tanya Edward.

Dia sudah menarik jari kabelnya, membuat Sheila buru-buru menyampirkan jasnya lagi. Gadis itu hanya mengangguk karena tidak bisa berbicara.

Lonjakan energi akibat pengisian HP secara paksa seperti ini sering kali memberikan efek samping. Ada yang mual, pusing, membeku, sampai pingsang. Semua tergantung siapa yang mengisi, siapa yang diisi, dan apa sumber energinya.

Dalam kasus Sheila ini, dia hanya akan menjadi bisu untuk beberapa menit saja. Gadis itu melambaikan tangan, berniat pergi ke asramanya. Sayang, kalimat Edward yang satu ini sepertinya akan membatalkan rencana awalnya.

"Oh ya, Sei. Tahun ini kau akan ikut duel yang dua lawan dua, bukan satu lawan satu. Profesor katanya tidak mau kau berhadapan dengan Reinnais, sosok monter yang digadang sebagai peringkat pertama di kalangan usia kita."

1077 kata
23 Okt 2021

==============<⟨•⟩>==============

School: Magician [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang