"Apa yang terjadi dalam kehidupan memang sudah ditetapkan. Akan tetapi, ada kalanya kita harus memaksakan diri menentang takdir. Saat itu terjadi, pastilah keajaiban yang kita harapkan."
{Magician}
<ᗕᗒ>
"Eum,"
"Lo udah bangun, Di?"
Bisikan lirih di tengah hening itu menyadarkan Aldi sepenuhnya. Mata pemuda itu mengerjap, berusaha beradaptasi dengan lingkungan sekitar.
Mengedarkan pandang, akhirnya netra gelap itu berhasil menemukan wajah dua orang yang dia kenal. Rasa lega melingkupi hatinya, meski perasaan cemas jelas lebih mendominasi.
Kondisi mereka bertiga sama. Tubuh lemas tanpa tenaga, tangan dan kaki terikat kuat, serta pandangan terbatas membuat mereka tidak bisa tahu posisi saat ini.
"Maaf. Gara-gara gue, lo berdua jadi ketangkep. Harusnya gue gak—,"
"Belum lebaran, Di. Mending lo mikir, gimana caranya keluar dari sini. Frida masih pegang HP, ruangan ini juga gak ada CCTV dan penjaga. Kalau kita bisa perhitungin apa yang ada di depan seakurat mungkin, kita bisa kabur," potong Abi.
Aldi terdiam. Abi benar. Bukan waktunya untuk meratap dan berandai. Mereka harus bisa keluar secepatnya. Kondisi akan semakin merepotkan kalau tubuh Aldi mencapai batas.
Atas dasar itulah, ribuan sel di otaknya mulai bekerja. Pemuda itu berpikir keras. Kalau saja otaknya itu mesin, bisa dipastikan bahwa kepalanya sudah mengeluarkan kepulan asap.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan, sampai suara satu-satunya gadis itu terdengar. "Percuma."
"Hah? Apa maksud lo, Da?" Abi menatap temannya tidak percaya.
Dengan peluang sebesar ini, dengan kondisi semenguntungkan ini, bagaimana bisa gadis itu putus asa duluan? Dipikir bagaimanapun, ini jelas peluang satu-satunya kesempatan mereka untuk bisa keluar.
"Aku bilang percuma."
"Percuma dari mana? Kit—,"
"Kita disekap. Ponsel kita dibiarkan. Kita juga dibiarkan tanpa pengawalan. Kalian pikir, apa mereka sebodoh itu? Tidak. Mereka tidak bodoh. Mereka memakai cara yang diluar nalar kita," jelasnya.
"Kalau gitu, kita cuma perlu mikir dari sud—,"
"Mustahil."
"Ck. Masalah lo, apa, sih?! Kalau mau pesimis, pesimis sendiri, sana! Jangan bikin gue sama Aldi ikutan pesim—,"
"Mereka bukan manusia."
"Hah?"
Omelan Abi terhenti. Matanya menatap Frida tak percaya. Bukan manusia katanya. Siapa pula yang akan percaya? Gadis dengan aura positif di hadapannya ini tidak cidera otak, kan?
"Da, lo sehat? Jelas-jelas tadi itu manu—,"
"Magician."
Lagi, raut cengo itu terpancar. Baik Abi maupun Aldi, mereka sama-sama tidak bisa mencernanya. Melihat mereka diam, Frida berinisiatif menjelaskan.
"Magician. Seratus tahun lalu, mereka juga manusia kayak kita. Awalnya gitu, tapi karena sesuatu hal, mereka jadi punya apa yang disebut sihir. Populasinya meledak, bertambah banyak dalam waktu singkat. Manusia non-Magician mulai ngerasa terancam, jadi para Magician bikin dunia dalam bidang dunia—Magic Town namanya."
Frida terdiam sebentar, memberikan sedikit waktu pada kedua temannya untuk menangkap hal di luar nalar ini.
"Berarti—,"
KAMU SEDANG MEMBACA
School: Magician [Tamat]
FantasySihir. Satu kata yang familiar di kalangan para penggemar rumor fantasia. Kata yang selalu dikaitkan dengan sosok penyembah setan yang menguasai ilmu hitam. Akan tetapi-, Benarkah demikian? Seburuk itukah kata ini? Kita tidak tahu. Kita tidak akan t...