Pagi telah tiba. Selaras dengan baskara yang kian naik, suasana di ruangan Kaisar Stece memberat. Di singgasananya, sang Kaisar menopang dagu, menatap remeh empat remaja yang berlutut menghadapnya. Senyum miring terukir, sang Kaisar beranjak dari singgasana guna menghampiri remaja berambut hijau.
Dini hari tadi, si rambut hijau sudah berada di istana. Berdiri membatu di depan ruangan Kaisar. Ia hanya menunggu, sama sekali tidak memanggil atau sekadar bertanya keberadaan Kaisar. Kaisar membuka percakapan, “Rupanya kau benar-benar membutuhkan izinku, nak.”
Anggukan tegas dan cepat menjadi respon si remaja. Ia tak memiliki nyali untuk menatap mata Kaisar. Sejenak hening mengisi ruangan, lalu terpecah oleh kekehan geli. Tangan besar dan hangat mendarat di kepala si remaja, disusul tepukan ringan beberapa kali. Kaisar sebagai pelaku kembali ke singgasana, ekspresinya kembali datar.
“Kau tidak seperti Rauk, dia tidak mungkin meminta izin,” gumam Kaisar. Ia melanjutkan, “Tentu saja aku memberi izin, itu sudah jelas. Tapi untuk saat ini, pergi ke Thraxal tidak bisa menggunakan teleportasi. Kalian harus menempuh perjalanan panjang melalui Xeskein. Bisakah kalian melaluinya?”
Empat remaja disana menjawab cepat, “Kami akan berusaha, Yang Mulia!”
Helaan napas terdengar, Kaisar menjentikkan jari. Tak lama seorang dayang memasuki ruangan, rupanya jentikan jari tadi merupakan kode. “Menetaplah disini setidaknya sepekan, kalian membutuhkan latihan lebih banyak. Butuh satu bulan untuk ke Thraxal menggunakan jalur Xeskein, jadi aku akan menyiapkan item sihir untuk membantu.”
Mengibas tangan, Kaisar memberi isyarat agar mereka pergi. “Untuk keperluan lain minta bantuan Putri Pertama, dayang akan mengantarkan kalian,” tambahnya sebelum empat remaja yang merupakan Eugene, Ikarus, Zach dan Valisha meninggalkan ruangan dengan perasaan lega.
***
Di perjalanan untuk menemui Alicia, Eugene dan kawan-kawan melewati lorong dalam hening. Tak seperti biasa, lorong istana terasa sepi. Para pelayan tidak berlalu lalang, menteri yang sering keluar masuk ruangan Kaisar juga tak terlihat. Suasananya tidak biasa, namun dayang yang mengantar mereka tampak terbiasa.
“Hei, bukankah disini terlalu sepi?” tanya Ikarus membuat Valisha di sampingnya terkejut. Itu wajar, di tengah suara deran kaki, hembus napas, dan detak jantung yang samar tiba-tiba terdengar suara lain yang lebih keras. Indra pendengar Valisha cukup sensitif, jadi ia merasa suara Ikarus terlalu keras. “Pelankan suaramu, aku kaget tahu!”
Mengabaikan Valisha, Ikarus menatap lekat punggung wanita bergelar dayang selaku penunjuk arah. Sebagai orang yang sering berkeliaran di istana, baru kali ini Ikarus merasa suasana terlalu sepi. Dayang itu mengangguk, ia menjawab dengan tegas, “Yang Mulia Kaisar sengaja melarang siapa pun masuk. Beliau berpikir kesunyian dapat mengurangi sedikit kegelisahan anda.”
Ikarus menanggapi dengan gumaman panjang, ingin protes namun ada benarnya. Baginya yang terbiasa hidup ditemani sifat cukup menjengkelkan Kaisar, peristiwa di ruangan beliau tadi bukan masalah besar. Berbeda dengan Eugene yang selain belum terbiasa, juga menaruh harapan besar untuk mendapat izin pergi ke Thraxal.
“Sudah sampai, Tuan dan Nona. Silakan masuk, Yang Mulia Putri Pertama menunggu di dalam. Saya undur diri,” pamit si Dayang saat mereka sampai di depan pintu megah dengan ukiran rumit. Mereka bergeming selama beberapa menit lalu menghela napas lega bersamaan. Helaan napas Eugene terdengar paling jelas, rupanya ia menahan gugup sejak berada di ruangan Kaisar.
“Terima kasih, Ikarus. Jika kau tidak ikut menghadap Yang Mulia aku ragu beliau akan memberi izin,” Eugene tersenyum lega. Valisha dan Zach terkekeh lega sambil menepuk bahu Eugene, sedangkan Ikarus mendengus bangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
❝Eyes Blue❞ (TAMAT||TERBIT)
FantastikKebebasan dan jati diri yang jelas, adalah impian hampir semua orang. Namun, jalan yang dilewati untuk mecapainya tidak mungkin mulus. Seperti jalan si anak buangan dari Thraxal, Eugene El Aclyae, yang dipenuhi batuan terjal dan duri beracun. Namun...