XXII

815 77 7
                                    

"Shikadai," Temari yang muncul dari arah jendela secara tiba tiba membuat Mako tersentak kaget.

Temari langsung turun dan melempar Tessennya ke sembarang arah. Manik Turquoise miliknya terlihat basah saat melihat sosok kecil sang putra terbaring lemas di atas ranjang, menggigil kedinginan, dengan selimut yang menutupi hampir seluruh tubuhnya, jaket bulu tebal, dan kompres di dahi.

"Ada apa dengan Dai ?" Temari membawa putranya ke dalam pelukannya, mendekapnya lembut dan erat seperti saat ia baru lahir ke dunia ini. Kekhawatirannya semakin menjadi saat merasakan betapa panasnya tubuh Shikadai.

"Shikadai - sama demam, itu wajar di masa pertumbuhan." Jawab Mako tenang. Ia mengambil kompres Shikadai yang terjatuh di kasur dan mengembalikannya ke wadah berisi air hangat.

Temari mendekap putranya semakin erat, berharap panas dari tubuh putranya berpindah kepadanya saja, ia tak tega melihat sang buah hati terlihat menderita.

"Kenapa anda kemari Temari - sama ? Bukankah jadwal anda datang adalah besok ?" Tanya Mako heran, ia cukup terkejut saat melihat kedatangan sang Putri Suna.

"Aku ... Bermimpi buruk tentang Dai, hatiku tidak tenang, akhirnya aku memutuskan untuk kemari dan memeriksa keadaan, dari dekat rumah tadi aku bisa merasakan Chakra Shikadai bergejolak, karena itu aku langsung lompat kemari," jelas Temari panjang lebar. Ia mengecup dahi putranya yang panas dalam dalam, berharap bisa sedikit meredakan sakit Shikadai.

"Okaa ... San ?" Bocah berumur 2 tahun itu membuka matanya perlahan, berucap lemah saat merasakan hangatnya pelukan sang ibu. Shikadai kecil sudah sangat lancar dalam berbicara, ia bisa mengucapkan berbagai kata dengan pelafalan yang benar dalam beberapa kali belajar.

Kejeniusan keturunan Nara memang tak bisa di ragukan.

"Iya, Okaa - san disini, sayang, bagaimana bisa kau sakit seperti ini huh ?" Temari bisa mendengar serak pada suaranya, kedua matanya panas, ia ingin sekali menangis melihat keadaan sang putra yang lemah, ia merasa benar benar tak pantas dipanggil ibu.

"Bukannya seharusnya Okaa - san datang lusa ?" tanya Shikadai lagi, bocah kecil itu tidak merespon pertanyaan sang ibu sebelumnya.

"Pokoknya sekarang Okaa - san disini bukan ? kenapa kau bisa sakit Dai ?" ulang Temari, kali dengan suara yang sudah lebih terkontrol, ia mendekap buah hatinya erat, mengecup keningnya yang terasa membakar bibir berkali kali.

Shikadai memeluk sang ibu erat, mencari kenyamanan lebih dalam perlakuan ibunya "Tidak tahu."

Temari memejamkan matanya, tentu saja bocah itu tidak tahu ! dia hanyalah anak berusia 2 tahun lebih sedikit ! mana mengerti soal ilmu kesehatan.

"Apa kepalamu pusing sayang ? oh, Kami - sama, badanmu panas sekali." Temari memutuskan untuk membuang pertanyaannya yang tadi, baiklah, sepertinya pikirannya benar benar sedang tidak jernih.

"Panas, Okaa - san."

"Tidurlah, nanti sakitnya akan hilang."

"Aku tidak bisa tidur ! panas sekali !" suara Shikadai terdengar serak, seperti ingin menangis, ia tetap tidak menunjukkan wajahnya yang sedari tadi ia benamkan di pelukan sang ibu. 

Temari mengangguk, tangannya mengusap kepala sang putra lembut, tak lupa dengan chakra Fuuton yang menciptakan aliran angin yang sejuk juga lembut. 

Shikadai perlahan terlelap. Angin sejuk juga alunan lagu tidur dari ibunya membuatnya terbuai.

"Tidurlah, Okaa - san yang akan menjagamu."

-----------------000------------------

Suara gelas yang diletakkan pelan di atas meja kembali mengisi keheningan malam di apartemen pemuda yang nantinya akan menjadi pemimpin klan Nara itu.

Sejak konflik, Shikamaru memilih untuk menempati sebuah apartemen yang berisi 2 kamar, 1 dapur, dan 1 kamar mandi yang cukup luas.

Entah sudah gelas teh yang keberapa yang sudah ia minum. Sejak tadi, entah kenapa matanya tidak bisa diajak pergi ke dunia mimpi.

"Haah, aku benar benar tidak bisa tidur, ini gila." Shikamaru menatap gelas yang sudah tandas isinya lamat lamat. 

"Aku merasa ingin sakit, aku merasa tidak enak badan, tapi ... anehnya aku juga tahu kalau aku baik baik saja."

Shikamaru menatap langit langit berwarna coklat khas kayu. Sejak ia menangis tiba tiba saat itu, ia merasa aneh dengan dirinya. Seringkali ia merasakan sesak di dada yang tak diketahui penyebabnya. Terkadang, ia merasakan perasaan berbunga padahal tidak ada apapun yang menyenangkan di sekitarnya yang sedang terjadi. 

Seperti saat ini, ia merasa sakit padahal tubuhnya baik baik saja. Catatan medisnya menunjukkan bahwa tubuhnya dalam keadaan stabil.

Aneh

Tapi mau dipikir sekeras apapun, tidak ada jalan keluarnya.

Mungkin ada sesuatu yang menyebabkan semua ini terjadi. Suatu hari nanti, Shikamaru pasti akan mengetahuinya, tentu saja setelah menuntaskan masalah antara Konoha dan Suna. Itu tekad Shikamaru

Harus

Ia harus tahu kenapa

----------------000-------------------

Sinar matahari yang masuk melalui celah celah jendela membuat bocah lelaki kecil yang tadinya terlelap, kini mulai membuka matanya. Manik Turquoise miliknya mengerjap beberapa kali, menyesuaikan cahaya yang masuk.

"Okaa ... san ?" ia memandang ke sekeliling, semuanya kosong seperti biasa. Ia sendirian di kamar itu.

Shikadai duduk dengan sedikit usaha, kepalanya masih terasa sedikit pusing tapi sudah lebih baik daripada semalam. Sebuah kain yang sepertinya dipakai kompres jatuh ke pangkuannya begitu ia duduk tegak.

Helaan napas terdengar. Shikadai meletakkan kompres itu di atas selimut dan beranjak turun dari tempat tidur. Saat membuka pintu, ia dapat mencium wangi masakan yang menggugah selera makannya.

"Mako Baa - chan ?"

Kaki kecil itu melangkah ke arah dapur perlahan. Matanya membulat tidak percaya saat melihat siapa yang sedang bergerak lincah, berkutat dengan semua peralatan dapur.

Helaian pirangnya bergerak seiring dengan pergerakan kepalanya yang menoleh ke arah Shikadai. Senyumannya mengembang, menambah kecantikan yang sudah berlipat lipat di bawah sinar matahari pagi.

"Selamat pagi, Dai."

Sapaan yang tak pernah ia dengan dengan suara itu, senyuman yang belum pernah ia lihat di pagi hari, kehadirannya seakan hanya ilusi cahaya untuknya yang sedang sakit.

Shikadai mematung sebentar lalu tersenyum lebar "Selamat pagi, Okaa - san."

---------------000------------

~ Karena orangtua terhubung dengan anaknya, jiwa maupun raga ~

Perfect FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang