11🔹Pembalasan Untuk Mereka yang Merendahkan

1K 146 1
                                    

Sejak bersama Ayah, Linggara hampir tidak tahu bagaimana caranya untuk kembali ingat pada masa lalu. Yang dia tahu, Bunda selalu mencari-cari kesalahan Ayah hingga keduanya bertengkar hebat. Setelah kepergian Bunda dan Renan waktu itu, Lin kecil mendapati sang ayah yang menangis di ruang kerja tanpa suara. Lin belum tahu kenapa ayahnya menangis, tapi setelah beberapa hari dia sadar, alasannya adalah karena Bunda dan kakaknya telah pergi. Dan mungkin tidak akan kembali, untuk Lin apalagi Jeremi. Saat itu dia tidak menangis, tapi dalam lubuk hati Lin yang paling dalam ia bisa merasakan luka tak kasap mata yang ayahnya terima.

"Ayah pernah bilang sama Lin, kalau sesuatu yang kita miliki hilang, maka pertahankan yang lain agar dia tak ikut lenyap. Jadi, nggak apa-apa kalau bunda sama kakak nggak ada. Lin akan terus disini sama ayah. Dan nggak akan biarin ayah pergi." Beruntungnya Jeremi punya buah hati seperti Linggara. Dia tahu, ayahnya tengah bermasalah. Dia juga pernah merasa takut ketika berada didekatnya. Tapi, diwaktu yang berbeda di dekat ayah membuatnya nyaman dan bisa kembali menunjukkan warnanya.

Jadi, kala ia terbangun malam itu dan mendapati seorang tengah berdiri tak jauh dari tempat tidurnya ia akan segera berfikir kalau itu adalah ayah. Jeremi akan melihat keadaan Lin sebelum ia beranjak tidur, setiap hari. Sayangnya, sosok itu bukan ayah. Matanya kembali meredup ketika mendengar suara yang agak asing di telinganya. Kecewa ketika tahu bahwa sosok yang mengecek suhu tubuhnya bukanlah ayah, melainkan kakaknya.

Malam itu samar-samar, Lin mendengar suara bunda bersautan dengan suara kakaknya. Ia merasakan kompresan hangat di dahinya yang beberapa menit diganti dengan yang baru.

Dan ketika pagi, ia terbangun karena suara cuitan burung dan sinar matahari yang menyinari jendela. Pertama kali hal yang ia lihat adalah langit-langit kamar berwarna putih. Setelahnya, hanya suara dengkuran halus dari seorang yang berbaring di sampingnya.

"Kak Renan, kenapa tidur di sini?" Hanya hening yang Lin dapati. Kakaknya itu masih setia pada dekapan bunga mimpi.

"Kak," dia menggoyang-goyangkan tubuh Renan. Hingga dia membuka mata. "Kakak ngapain tidur di sini?"

Renan segera membuka matanya, mengecek kening Lin dengan tangan. Meraba leher yang kini tidak terasa panas seperti semalam. "Kakak ngapain, sih?" Dia lupa bahwa kakaknya yang menemaninya semalaman, berjaga ketika ia merasa tak nyaman dan kembali memanggil ayahnya.

"Kamu jangan buat kakak khawatir lagi. Kalau sudah ngerasa nggak enak badan langsung bilang sama kakak atau Bunda."

"Tapi ... "

"Kalau dibilangin jangan ngeyel. Nanti kalau ada apa-apa gimana?" Dan kali itu Lin mencoba untuk mengalah dari Renan. Syukurnya pagi ini, perutnya tak lagi mual. Juga tak lagi merasa pusing seperti kemarin malam.

"Udah mendingan, kan?" Lin mengangguk. "Cepet cuci muka, sikat gigi, terus sarapan di bawah sama Bunda. Kamu mau minum apa?" Lin masih diam. Bingung ingin menjawab apa.

"Teh manis aja!" Putusnya kemudian. Renan mengangguk. Ia beranjak dari tempatnya, "Ingat, jangan lama-lama di kamar mandi. Dingin!" katanya. Ia pergi setelah melihat anggukan dari Lin. Dan diam-diam, Lin tersenyum setelah ia pergi. Kakaknya telah kembali, dan ia harap tidak akan ada retakan lagi antara mereka.

🍁🍁🍁

Dunia seakan akan tengah mempermainkan Lin. Setelah lama ia berdebat dengan pikirannya sendiri, ternyata berhasil ia simpulkan bahwa bunda memang tidak pernah lupa ia punya alergi. Ia masih ingat percakapan ayah dan bunda kemarin pagi, ketika dia masih di rumah bersiap untuk pergi sekolah. Ayah mengatakan semuanya, tentang apa yang Lin suka dan tidak suka. Termasuk alerginya. Jika bunda lupa, tak mungkin pagi ini ia dihidangkan makanan yang berbeda dari sebelumnya. Bukan kerang, udan dan semacamnya. Melainkan sop daging sapi dan perkedel kentang.

Dua Arjuna✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang