Pukul 22.40 malam. Hari sudah terlampau gelap untuk melakukan pekerjaan. Malam hari adalah waktu yang tepat untuk beristirahat dari bisingnya siang dan lelahnya pekerjaan waktu matahari belum tenggelam. Waktu yang tepat untuk sekedar membenarkan letak selimut anaknya yang berantakan atau melihat buah hati dari depan pintu kamar, bagi mereka yang memang sibuk dengan kerja dan meninggalkan anak seorang diri di rumah.
Begitupun dengan Linggara. Ia terlalu lelah untuk memikirkan semuanya secara bersamaan. Dia juga butuh istirahat. Karena itu, sejak pukul 8 tadi ia sudah terlelap dalam alam mimpi. Melupakan dunia nyata yang kian membuatnya bingung dengan keadaan. Setelah pertemuannya dengan Renan tadi siang, mereka tak banyak bicara setelahnya. Hanya menanyakan kabar, dan beberapa hal tentang sekolah. Renan bahkan tak menanyakan bagaimana kabar Jeremi saat ini, karena itu Lin juga tak menanyakan perihal sang bunda walau ia sendiri rindu bagaimana rupanya.
Di tengah waktu tidurnya, ia terganggu dengan semilir angin yang membuat udara di sekitar menjadi semakin dingin. Bahkan ia merasakan rambutnya bergerak mengikuti hembusan udara. Tapi ia enggan untuk beranjak dari tempatnya, matanya masih tertutup. Menandakan bahwa kini, dia masih setengah tertidur walau sudah menyadari perubahan suhu di tempat ia berada.
Namun itu tak bertahan lama, kini bukan lagi suhu dan udara dingin yang mengganggunya. Melainkan rasa sesak yang membelenggu dada, membuatnya membuka meta tanpa aba-aba. Dia bisa merasakan jari-jari yang kuat itu mencengkeram lehernya tanpa rasa kasihan. Lin bisa melihat sosok itu kian menguatkan genggamannya. Membuatnya gelagapan seolah tenggelam di air yang dalam. Itu Jeremi. Bukan, lebih tepatnya Jeremi yang lain.
"A ... Ayah ... " Lirih sosok mungil itu pada sang ayah yang tak mengatakan apa-apa.
"Harusnya Renan yang saya bawa, bukan kamu! Harusnya Renan yang jadi pewaris perusahaan bukan kamu!! Kamu mati sekalian, biar saya bisa ambil Renan dari Ronata!!"
Tubuh Lin menggelinjang, kesulitan meraup udara di dekatnya. Berusaha kuat melepaskan pautan tangan ayahnya di leher. Tapi jari-jari miliknya tak bisa bersaing dengan tenaga Jeremi. Hingga Lin merasa putus asa untuk kembali bernafas dengan lega. Bahkan tidak peduli jika malam ini adalah akhir dari hidupnya. Namun, saat semua perlawanan Lin berhenti, tangan jeremi perlahan meregang. Membiarkan Lin kembali meraup oksigen sebanyak yang ia butuhkan. Memegangi lehernya yang terasa sakit, dan mungkin akan menimbulkan bekas keesokan harinya.
"Kenapa kamu tidak melawan? Apa kamu akan diam saja kalau saya benar-benar bunuh kamu?!" Ray tersenyum sendu. Lantas perlahan ia menganggukkan kepalanya.
"Aku akan diam, kalau itu Ayah." Lin bisa melihat Jeremi tertunduk. Menatap bahunya yang bergetar, Lin bisa merasakan dinginnya air yang menetes mengenai ceruk lehernya.
"Ayah–"
"Gimana kalau saya benar-benar bunuh kamu?!" Tangis itu semakin deras ketika Jeremi mengatakannya. Itu kepribadian lain dari Jeremi. Emosional, peka, dan selalu serius. Itulah sisi lain dari Jeremi yang kini ada di hadapannya.
Lin akhirnya memilih untuk bangun dari tempatnya. Tangan-tangan ramping itu berusaha untuk memeluk Jeremi dengan erat. Mengusap punggungnya untuk menenangkan Jeremi yang tak sadar melakukan hal itu padanya.
"Gimana kalau saya benar-benar bunuh kamu ... ?! Siapa yang akan peduli dengan saya jika kamu sudah tidak ada ... " Kini bahkan Lin bisa merasakan kalimat yang terasa dingin itu menembus kulitnya. Bahkan terasa sampai ulu hati, membuatnya menggertakkan gigi.
"Selama ayah belum sembuh, aku nggak bakal pergi. Ayah tenang aja!" Katanya menenangkan Jeremi yang kehilangan akal sehatnya beberapa menit yang lalu.
"Aku akan selalu ada di sisi ayah. Selalu. Maaf aku nggak bisa buat kondisi ayah jadi lebih baik. Tapi aku akan berusaha." Malam itu, Lin meninggalkan segala hal yang berhubungan dengan Renan dan bunda. Ia habiskan waktu untuk terus berfikir soal ayahnya. Pasalnya, dia juga tak bisa melihat ayahnya menyiksa diri sendiri seperti tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Arjuna✓
Ficção AdolescenteLinggara tak pernah menyangka ada kehidupan serumit hidupnya. Sosok ayah yang misterius membuat harinya dipenuhi dengan tanda tanya yang tak dapat dijawab siapapun. Ketika ia merasa sedih kala sang ayah mudah tersulut emosi, disaat yang sama ia mera...