Dalam hening sepi itu, Lin merasa kembali terlempar pada masa lalu. Saat dimana ada bundanya yang membuatkan makanan, dan Renan yang selalu menjahilinya. Sayangnya, di sana tidak ada ayah sebagai pelengkap suasana. Membayangkan alangkah bahagianya jika mereka masih utuh hingga sekarang.
"Kamu sehat 'kan? Sudah lama nggak ketemu, kamu tiba-tiba udah gede aja." Bunda tersenyum manis di hadapannya. Salahkah dia berharap bahwa itu bukanlah pura-pura?!
"Sehat, Bunda sehat 'kan? Bunda sekarang tambah cantik aja, hehe." Katanya sambil terkekeh. Bunda tersenyum menanggapi pujian anaknya. Dalam hati yang paling dalam, Ronata bersyukur anaknya bisa tumbuh dewasa dan sehat seperti ini. Jeremi sudah menjadi ayah yang baik untuk Lin, mungkin.
"Ya ampun, adik gue udah gede. Keren lagi sekarang jadi ketua kelas, emang adik idaman deh lo itu." Renan itu kadang memang seperti itu, entah sudah berapa kali ia mengusak rambut Lin hingga berantakan. Berulang kali hingga Lin sendiri malas untuk kembali merapikan.
"Kamu jadi ketua kelas? Hebat dong anak bunda, nggak kaya Renan yang bisanya buat onar. Anak kesayangan Pak Bambang, setiap minggu mampir BK terus!" Lin terkekeh, begitu pula dengan Renan yang malu dibongkar aibnya.
"Oh iya, tadi Bunda udah siapin makanan buat kamu. Yuk, kita ke meja makan!"
"Tapi aku udah makan tadi, Bun."
"Tapi Bunda udah capek-capek masakin kamu loh, percuma dong tadi bunda masak pakek semangat empat lima?" Ia masih kenyang, sebelum kemari dia sudah makan masakan ayahnya. Untuk terakhir kali dalam beberapa waktu ke depan. Hanya omlet telur biasa, seperti kesukaan Lin ketika sarapan menjelang berangkat sekolah. Tapi, melihat wajah sedih bunda, membuatnya merasa bersalah. Dan akhirnya ia menurut ketika Ronata dengan senang hati menuntunnya ke meja makan.
Namun, sekali lagi Lin terpaku pada tempatnya duduk. Bukan karena masakan itu tidak terlihat menggiurkan, olahan udang dengan warna kemerahan dan juga beberapa menu lain seperti kerang dan ikan bakar. Semuanya terlihat enak, tapi ada satu masalah disini. Lin alergi makanan seafood.
Di sana ia bahkan tidak mendengarkan ocehan Bunda dan Renan yang ingin ikut makan. Lin menatap bundanya, yang memberikan nasi pada piring di hadapannya.
"Ayo, Linggara harus banyak makan. Kamu harus rasain gimana enaknya masakan Bunda Ronata yang cantik menawan." Dia tersenyum, lebih tepatnya terpaksa untuk tersenyum. Bukankah bunda tau kalau sejak dulu ia alergi dengan udang dan semacamnya?! Bukankah dulu, bunda sendiri yang selalu melarang Lin untuk makan olahan seafood?! Apakah bunda lupa atau apa?
"Bun, aku mau makan lagi!"
"Kamu tadi habis makan banyak, sekarang mau makan lagi?! Nggak usah! Nanti aja Bunda siapin," Ronata menatap Renan dengan tajam, dan akhirnya remaja itu menurut. Kemudian ijin untuk pergi ke kamar mengambil ponselnya yang tiba-tiba berdering dengan kencang. Meninggalkan Lin dan Ronata.
Lin tersenyum masam ketika bunda memberikan satu-persatu lauk yang ada di sana. Mulai dari udang, hingga sup kerang yang rasanya bisa ia bayangkan kelezatannya. Tapi akan jadi bencana jika setelahnya dia akan merasakan efek dari alerginya. Bunda hanya lupa. Bisiknya dalam hati.
"Ayo dimakan, nanti dingin. Bunda mau beres-beres dapur dulu, ya?" Lin mengangguk. Sedangkan Ronata yang tak jauh dari sana mencuci dan membereskan alat masak yang ia pakai tadi.
Sesekali dia menatap anak bungsunya yang makan dengan perlahan, sambil meniup sup kerang yang masih terasa panas. Dan kembali disibukkan dalam hening. Dia tidak lupa bahwa Lin alergi dengan seafood. Tapi tetap saja dia nekat untuk masak makanan itu untuk Lin. Karena anak itu hanya diam saja, mungkin alerginya sudah sembuh. Ronata bisa bernafas dengan lega. Tapi, bagaimana jika alergi itu masih ada? Jujur saja, wanita 40 tahun itu juga bertanya demikian. Tapi entah kenapa semuanya terasa baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Arjuna✓
Fiksi RemajaLinggara tak pernah menyangka ada kehidupan serumit hidupnya. Sosok ayah yang misterius membuat harinya dipenuhi dengan tanda tanya yang tak dapat dijawab siapapun. Ketika ia merasa sedih kala sang ayah mudah tersulut emosi, disaat yang sama ia mera...