Matahari sudah berada di atas kepala. Suara hingar bingar dari siswa-siswi yang memenuhi kantin sekolah adalah tanda bahwa jam istirahat kedua sudah tiba. Termasuk Renan yang berlari tidak tentu arah menerobos kerumunan. Tujuannya adalah nasi uduk milik Mak Goten. Ia tahu begitu enaknya nasi uduk yang sering dipuji orang-orang itu. Dengan mi oseng, sambel matah, kemangi dan timun sebagai lalapannya.
Namun siapa sangka, kalau Sasi sudah berdiri di depan sana. Menghentikan Renan yang sudah bersiap untuk menerjang orang di hadapannya.
"Buat anak-anak kelas 12 IPA 4, yang mau nasi uduk silahkan bayar ke gue! Langsung ke kelas, nggak usah antri!!!"
Kala itu, Sasi bagaikan seorang penyelamat bagi mereka yang perutnya sedang krisis, sejak pagi memang belum diisi. Dan beruntungnya mereka nggak perlu mengantri.
"Sas, ngapain lo tumben banget baik kaya gini, jangan-jangan ada apa-apa lagi." Tanya Rio yang sedang mengunyah makanannya di bangku miliknya.
"Gue punya dendam sama anak kelas sebelah, masa kemarin gue sama Erni antri didorong-dorong sampai kepentok meja kantin. Nggak lucu banget!" Kata Sasi sewot.
"Apaan sih, Sas?! Kemarin cuma nyenggol dikit kok." Kata Erni yang tengah sibuk dengan buku bertuliskan angka-angka yang lumayan banyak. Buku bendahara.
"Nggak usah ngomong nyenggol dikit ya! Lo tau nggak, itu punggung kalau punya luka serius bisa lumpuh? Lo tau nggak?!" Erni hanya menghela nafasnya. Temannya satu ini jika sudah tidak bisa menahan diri pasti memang ada yang benar-benar membuatnya kesal.
"Kalian itu kenapa sih?! Habisin dulu makannya baru berantem. Nanti gue jadi wasitnya. Gimana?" Ujar Renan yang Buru-buru menghabiskan makannya. Semuanya diam. Dia ada benarnya. Semua tahu bagaimana Renan diberi aturan oleh bundanya. Pernah sekali Ronata mengunjungi sekolah dan melihat Renan sedang makan sambil bicara. Beberapa saat kemudian, dia menyemburkan semua makanan di dalam mulutnya. Dan satu kelas mendapatkan omelan dari Ronata, sang ibu.
"Oh, iya. Lo nggak pernah bilang kalau punya adik." Kata Sasi lagi, menelan suapan terakhir dari makanannya. Mungkin Renan tidak begitu mendengarkan. Karenanya ia tak memberi tanggapan apapun.
"Renan!" Kini remaja itu menoleh.
"Apa?"
"Dah lah, males gue. Beda banget sih sama adiknya!" Kini Renan menghentikan seluruh pergerakan tangannya.
"Lo bilang apa tadi?! Adik?!"
"Emang bukan ya?! Mirip banget tapi sama lo?"
"Maksudnya?!"
"Bukannya lo tadi ketemu ya?! Itu anak baru yang ngisi formulir pendaftaran ekskul mading. Yang tadi ke sini bareng Delta, lo nggak inget?!" Renan makin mengerutkan dahinya.
"Lin, gue kemarin tanya namanya Lin. Emang bukan adik lo?!" Entah sejak kapan percakapan keduanya menjadi sangat serius. Kini Renan berdiri, menatap Sasi dengan sorot penasaran.
"Kalau bukan ya udah!" Ia tidak tahu apa yang telah dipikirkan oleh seorang Renan. Remaja itu sudah berlari keluar kelas tanpa membersihkan sisa makanannya.
🍁🍁🍁
Entah apa yang ada dalam pikiran Linggara hingga ia bisa senekat ini. Setelah bertemu dengan Renan, ia buru-buru menghubungi ayahnya. Awalnya akan mengatakan bahwa ia sudah bertemu dengan kakaknya.
Namun, yang dia dapati adalah suara tegas sang ayah. Memintanya untuk segera menutup telpon karena dia sedang di tengah-tengah rapat. Dan sudah pasti, ayahnya ada pada kepribadian alternatifnya. Dengan berat hati, remaja itu menekan tombol merah di atas layar gedget miliknya. Kemudian berusaha untuk tetap berjalan di antara banyaknya manusia yang menyebrang di bawah lampu merah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Arjuna✓
Ficção AdolescenteLinggara tak pernah menyangka ada kehidupan serumit hidupnya. Sosok ayah yang misterius membuat harinya dipenuhi dengan tanda tanya yang tak dapat dijawab siapapun. Ketika ia merasa sedih kala sang ayah mudah tersulut emosi, disaat yang sama ia mera...