8🔹Antara Dikta dan Linggara

1K 150 4
                                    

Hari sudah sore, bahkan langit sudah terlihat kemerahan di ujung barat sana. Menandakan bahwa ini waktunya untuk pulang ke rumah. Andai saja bisa, Delta akan meminta Lin untuk tetap tinggal di sini. Dia orang baru, tapi entah kenapa dengan mudahnya Delta bercerita panjang lebar tentang masa lalunya. Bahkan hal paling penting baginya, tentang Dikta.

Dan tiba-tiba hening di antara keduanya mulai datang tanpa diminta. Membuat celah cukup lebar untuk kembali mengisi percakapan seperti sebelumnya.

"Aku punya Ayah. Suka marah-marah tanpa alasan kalau di rumah, semua barang dibanting dan pecahan kacanya berserakan di mana-mana." Ucap Lin tiba-tiba. Bukan apa-apa, hanya saja ia merasa bersalah telah membuat Delta teringat akan hal paling menyakitkan baginya. Tanpa ia sadar, manik Delta sudah menatapnya penasaran.

"Di samping itu, dia kelihatan awet muda. Pakai pakaian trendi pun pasti dikira umur dua puluhan. Sosok yang selalu ada ketika aku merasa nggak dibutuhkan siapa-siapa. Dan dia selalu sedia kala aku butuh sandaran ketika terluka."

Dia tidak pernah tahu, bahwa sosok itu juga penuh dengan luka. Yang mungkin saja tidak semua orang tahu apa alasan dan penyebabnya.

Tin...tin...

Suara klakson mobil terdengar dari halaman depan. Membuat sensasi lain dari sosok Lin yang kini bangkit dari duduknya.

"Itu kayanya Ayah deh, aku pulang dulu ya?"

"Oh, beneran mau pulang?" Lin mengangguk sebagai jawaban. Dengan langkah diseret, Delta mengantarkan Lin ke depan rumah dan tanpa sengaja melihat sosok yang ada di depan kemudi mobil tengah tersenyum padanya. Benar-benar tidak menggambarkan ayah yang suka marah seperti yang Lin ceritakan.

"Itu bener ayahmu?!" Lin mengangguk, kemudian berjalan masuk ke dalam mobil.

"Kamu beneran teman Lin?" Suara Jeremi memenuhi udara sore di depan rumah Delta kala itu. Dan dengan sedikit gugup ia hanya bisa mengiyakan pertanyaan Jeremi. Laki-laki 40 tahun itu tersenyum, sebelum memberikan pesan yang benar-benar tidak biasa ia terima.

"Makasih ya udah mau jadi temannya Linggara. Sebentar lagi saya nggak akan di sini buat mengawasi dia, kalian yang akur ya? Saya suka khawatir kalau dia berantem sama temen-temennya."

"Iya om. Kalau boleh tahu, emang Lin pernah berantem sama temen-temennya?"

"Oh, ya namanya anak muda. Pasti perna—"

"Udah nggak usah gibah! Orangnya denger loh ini!" Jeremi tertawa, ada perasaan hangat yang Delta rasa ketika melihat sosok ayah tersenyum dengan lebarnya.

"Kalau gitu, om sama Lin pulang dulu ya?" Delta mengangguk. Sebelum mobil itu berjalan dengan perlahan, membelah jalanan bersama kendaraan lainnya.

Perasaan aneh lainnya datang ketika ia bersama Linggara sejak pertama kali mereka berkenalan. Rasanya anak itu nampak familiar dalam pandangannya. Rasa yang ia rasakan sama seperti di dekat Dikta yang bahkan kini mulai ia lupakan keberadaannya.

🍁🍁🍁

Maghrib tiba dengan gelap yang tanpa sadar sudah mengikis jarak antara senja dan malam. Lin bisa mendengar suara seruan adzan yang Pak Basuki kumandangkan dari masjid di dekat rumahnya. Sopirnya itu memang tidak terlihat alim atau tahu banyak tentang agama. Yang Pak Basuki tahu, bahwa sholat adalah kewajiban yang harus dilakukan setiap umat Islam.

"Yah, nanti sholat bareng yuk? Udah lama banget kita nggak ke masjid bareng!" Lin melipat bajunya di atas siku, begitu pula dengan celana panjang yang ia kenakan hingga sebatas lutut. Bersiap untuk berwudhu.

Dua Arjuna✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang