14🔹Mereka Semua Terluka

932 143 5
                                    

Linggara tidak pernah mengatakan bahwa dia terluka. Dia tidak pernah mengatakan sakit walau ada sesak yang ia rasa. Membuat keluarganya sempurna adalah impiannya. Menurutnya dia tidak lemah hanya karena kedua orang tuanya berpisah, dia tidak menangis saat melihat Bunda meninggalkan rumah bersama dengan Renanda. Saat ia sudah mengerti tentang keadaan sang ayah, bahkan ia menjadikan rasa sakit sebagai temannya. Ayah Jeremi juga tidak ada bedanya. Lin adalah copy dari Jeremi.

Karena memendam semua rasa sakit seorang diri lah yang membuatnya menjadi rusak. Jika bisa ia mengatakan, bahwa kini ia sudah hancur berantakan. Tapi Lin lah dirinya bertahan. Bertahan untuk tetap tidak menyerah dalam hidupnya.

Tapi kini, udara serasa enggan masuk ke dalam paru-parunya. Entah apa yang dia rasa saat ini, tapi firasatnya tidak mungkin salah. Beberapa hari belakangan ia menjalani terapi yang ia anggap membuat dirinya yang lain cukup bisa mengendalikan emosi. Rumahnya berada di perumahan yang jauh dari hingar bingar kota dan lalu lintas padat. Dokter yang menanganinya menyarankan untuknya tinggal di tempat sepi seperti ini. Namun, tenang yang ia rasa kembali goyah ketika mendapati panggilan Lin yang sudah terjawab di log panggilan beberapa hari yang lalu.

Haruskah dia menghubungi anak itu sekarang? Apakah dia sibuk dengan Bunda dan kakaknya?

Jeremi kembali meletakkan ponselnya. Menatap langit dari jendela di hadapannya. Berarti, dirinya sudah mengangkat telpon dari Lin. Kira-kira, apa yang Lin katakan pada dirinya yang lain? Sebuah kata penyemangat? Atau ... hal lain?

Entahlah, yang dia tahu saat ini adalah Lin berada di tempat yang aman. Karena dia bersama dengan Ronata. Perlahan ia menyenderkan kepalanya pada kursi yang ia duduki. Merasakan berat di matanya tiba-tiba. Kemudian beberapa menit setelahnya, dia sudah berlabuh ke pulau mimpi.

🍁🍁🍁

Dalam hening itu, Lin merasakan ada sapuan hangat yang ia rasa di beberapa tempat di wajahnya. Andai saja, itu adalah tangan Bunda maka Lin akan cepat-cepat membuka matanya. Mencium tangannya, meminta maaf atas apa yang ia katakan kemarin. Semakin lama ia memikirkannya, semakin pula ia merasa bersalah. Namun sayangnya, tangan itu milik Renan yang menjaganya dari pagi tadi.

Memilih untuk meninggalkan sekolahnya. Apapun dia lakukan demi adiknya, terlebih sang bunda yang tidak tahu kemana. Meninggalkan mereka di rumah berdua.

"Kamu jangan sakit, Dek. Kakak takut ... " cicit Renan. Lin hanya diam, enggan untuk membuka matanya. Dalam senyap yang tiba-tiba membentang di antara mereka, sayup-sayup Renan bisa mendengar suara Lin memanggil seseorang. Tidak seperti terakhir kali melihat Lin yang mengigaukan Ayah, kini remaja itu memanggil Bunda.

"Bunda ... Bunda kemana? Nggak benci 'kan sama Lin? Lin ... takut Bunda pergi lagi ..." Remaja itu menggunakan lengannya untuk menutup kedua mata. Renan bisa mendengar isakan kecil dari Lin. Tapi dirinya hanya diam.

"Gimana ... kalau mereka emang nggak pernah mau Lin ada?!! Gimana ... kalau Ayah nggak ke Singapura untuk terapi? Gimana ... kalau Lin emang nggak dibutuhkan disini? Aku harus gimana ... ? Aku harus pergi ke mana kalau—" kalimat Lin belum selesai. Ia belum menuntaskan rasa khawatirnya. Tapi suaranya dihentikan oleh gebrakan pintu yang terbuka secara tiba-tiba. Sosok Ronata datang dengan air mata yang sudah membasahi pipinya. Berlari memeluk tubuh Lin yang masih terisak dalam diam.

"Kamu jangan bicara lagi! Siapa yang bilang begitu, hah?! Siapa yang bilang Bunda nggak mau kamu di sini?!! Siapa yang bilang kalau kamu nggak dibutuhkan siapa-siapa?!! Jawab Bunda!" Renan masih diam. Ia tidak bisa melihat Bunda menangis, ditambah dengan adiknya yang dalam kondisi buruk.

"Ayah tiba-tiba pergi, Bunda juga berlaku seakan tak peduli. Jadi, bagaimana aku bisa berfikir kalau aku memang dibutuhkan di sini?"

"Bunda sayang sama kamu, kamu jangan pernah berfikir kalau Bunda mau kamu pergi. Rumah kamu di sini! Bunda tahu, ayah kamu orang baik yang sedang kesepian. Bunda takut, kalau kamu lebih memilih Bunda dan meninggalkan ayah kamu."

Dua Arjuna✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang