Sejak pagi ada hal yang menganggu pikiran Lin, hingga ia terjaga sebelum fajar tiba. Duduk di balkon kamar, merasakan hembusan angin dan udara dingin yang menyapu kulitnya. Berada jauh dari keramaian dan kembali hidup dalam kesunyian. Ada sesuatu yang membuat dirinya berlaku sampai sejauh ini, tentang bagaimana ia berjuang sedemikian kerasnya agar bisa menjadi seperti yang Jeremi minta. Iya, ayahnya adalah alasan ia mau berjuang. Dan juga, alasan kenapa dia menjadi semakin depresi setiap malam. Tidak ada yang tahu, bahwa semalam Lin tidak bisa tidur dari jam satu dini hari. Dan hingga fajar menjelang ia tak bisa mengistirahatkan tubuhnya kembali. Sederet kalimat penenang sudah ia lontarkan, tapi tak berefek apa-apa. Mencoba untuk menyibukkan diri agar merasa lelah, dan ia bisa terlelap. Tapi ternyata semua hal yang ia lakukan sia-sia. Kini yang ia dengar hanya suara angin yang bergerak ke seluruh penjuru udara.
Sudah lama sekali sejak ayahnya kehilangan kendali atas tubuhnya. Dua bulan yang lalu, Lin rasa rumah itu tak bisa disebut tempat tinggal. Kala itu ada sosok mengerikan yang membuat keributan saat malam tiba. Membuat Lin ketakutan setengah mati, dan bersembunyi di dalam lemari. Orang yang dia maksud adalah ayahnya sendiri.
Pecahan kaca berserakan di atas lantai, dengan beberapa kertas yang terlempar entah ke mana. Malam itu yang paling menyakitkan adalah, saat Lin tahu bahwa ayahnya memang perlu perlakuan istimewa.
"Linggara, ayah mau ngomong sebentar." Suara Jeremi membuat Lin tersadar. Membiarkan lamunannya buyar dan berlarian entah ke mana. Remaja itu terperanjat dari tempatnya, berusaha meyakinkan bahwa yang dihadapannya ini adalah Jeremi yang sesungguhnya. Tapi tangan kekar itu memegang bahunya, menyuruh Lin untuk tetap pada tempatnya. Membuat remaja itu duduk kembali di atas kursi.
"Ayah Jeremi, 'kan?!" Pertanyaan aneh itu kembali Jeremi dengar. Tapi ia sudah tak heran dengan putranya yang satu ini. Hidup hanya berdua saja dengan sang ayah membuat Lin tahu apa alsan ayahnya punya sifat yang pasang surut. Ia sudah temukan jawabannya sejak tiga tahun lalu.
Jeremi duduk di samping Lin, mulai menikmati indahnya pagi dengan mentari yang muncul dari ufuk timur.
"Emang ayah kamu ada berapa, sih?"
"Aku cuma mastiin kalau ini emang Ayah. Bukan orang lain." Dia memainkan ujung jari kakinya. Enggan untuk menatap mata sendu milik sang ayah.
"Ayah kamu ini bukan manusia jadi-jadian, ya?! Ayah ini normal, nggak ada cacat kecuali akhlaknya." Lin tersenyum tipis.
Tidak ada lagi percakapan di antara mereka. Senyap itu tanpa terasa membuat keduanya kedinginan, sama seperti udara yang menyapu wajah keduanya.
"Kamu anak laki-laki, loh." Lin kini menatap laki-laki di sampingnya. Bingung dengan apa yang diucapkan sang ayah.
"Iya, aku tahu kok kalau aku itu laki-laki. Kenapa emangnya?!" Jeremi mengusap wajahnya.
"Bukan itu yang ayah maksud."
"Terus?!"
"Buku-buku itu!"
"Buku?" Jeremi sempat menghela nafasnya.
"Buku tentang bunga." Setelah tiga kata itu terucap oleh Jeremi, Lin langsung paham dengan apa yang ayahnya maksudkan. Tentang buku-buku bertema bunga yang dulu sering sekali ia baca, dan hingga sekarang masih tersimpan rapi pada rak di sudut kamarnya.
"Dulu aku beli banyak banget buku yang kaya begitu, ya?" Kini Lin nampak menatap kosong pada pemandangan di hadapannya. Lantas ia menarik sudut bibirnya, menampakkan senyum simpul yang biasanya tak ia perlihatkan pada siapa-siapa.
"Waktu masih kecil, Bunda suka ngajak aku ke toko bunga. Setiap kali ditanya nama bunga, aku selalu bilang nggak tau. Jadi, kala itu cita-cita seorang Linggara adalah punya toko bunga sendiri. Siapa tau kalau bunda mampir, terus tanya-tanya soal bunga, saat itu aku udah bisa jawab."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Arjuna✓
Roman pour AdolescentsLinggara tak pernah menyangka ada kehidupan serumit hidupnya. Sosok ayah yang misterius membuat harinya dipenuhi dengan tanda tanya yang tak dapat dijawab siapapun. Ketika ia merasa sedih kala sang ayah mudah tersulut emosi, disaat yang sama ia mera...