20🔹Nisan Tak Bernama

1.1K 135 6
                                    

Kala itu, pagi terasa seperti biasanya. Tidak ada suara gaduh dari Renan dan Ronata yang kembali berselisih walau hubungan keduanya tidak baik akhir-akhir ini. Setidaknya Lin merasa senang karena masih bisa melihat Ronata dan Renan berada di meja makan yang sama dan beberapa kali melemparkan candaan seperti saat mereka pertama bertemu di sini untuk mencairkan suasana.

Saat berangkat sekolah, biasanya Renan akan berjalan dengan Lin untuk sampai ke sekolah bersama. Tapi saat itu, Lin memilih untuk berangkat lebih dulu. Ijin dengan Renan bahwa ia akan berangkat bersama dengan Delta. Renan mengijinkan walau entah kenapa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya tiba-tiba datang tanpa sebab.

"Kak, aku berangkat sama Delta ya? Kemarin kayanya dia banyak masalah sampai nggak bisa fokus di sekolah. Bukan apa-apa sih, aku cuma mau ngobrol aja sama dia …" Renan hanya mengiyakan apa yang Lin minta. Remaja itu tahu Delta adalah teman baik Linggara, jadi tidak heran kalau ia memang se-khawatir itu dengan sosok dingin tersebut.

Tapi dia menyesalinya. Di sekolah ia tak melihat Lin ada di dekat Delta, juga di sekitar kelasnya karena memang dia tidak masuk dari pagi. Bolos sekolah bukanlah hal yang Lin biasa lakukan. Delta hari ini berangkat sangat pagi, seorang diri. Lalu, ke mana Linggara pergi?!

Siang ini ia habiskan waktunya berkeliling lingkungan sekolah hanya untuk memastikan bahwa Linggara hanya bolos beberapa jam pelajaran seperti yang biasa ia lakukan. Tapi kali ini, ia tak bisa menemukan adiknya. Dia harus bilang apa sama Ronata kalau memang terjadi apa-apa dengan Linggara?!

Isi kepalanya penuh dengan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Dan saat ia kembali menelisik ingatannya, maka kejadian tentang hilangnya Dikta menjadi satu-satunya memori yang bisa membuatnya lupa segala hal. Bagaimana jika kejadian itu terulang lagi, dan Linggara yang menjadi korban selanjutnya?

Renan menggigit bibirnya, mencoba untuk tenang dan memikirkan hal positif yang bisa saja terjadi.

🍁🍁🍁

Rumah delta tidak begitu jauh, hanya memerlukan waktu 10 menit dengan jalan kaki. Beberapa hari belakangan, semenjak remaja itu berkunjung ke rumah sikapnya menjadi aneh. Tingkahnya bahkan lebih dingin dari biasanya, membuat teman sekelas menjadi khawatir. Apalagi kalau berhubungan dengan Dikta, pasti anak itu tidak baik-baik saja.

Sebenarnya hari masih pagi, belum ada orang-orang yang melakukan aktivitas di luar rumah. Mungkin merasa udara cukup dingin, dan memilih untuk melakukan pekerjaan lebih siang. Tinggal melewati beberapa rumah lagi, dan ia bisa berteriak pada Delta.

Tapi, sebelum hal itu terjadi, sebuah mobil hitam berhenti di sampingnya. Keluarlah beberapa orang berbaju hitam dan menghampirinya. Ia merasa ada yang aneh dengan mereka, setitik rasa takut mulai muncul ketika salah seorang dari mereka mencekal tangannya.

"Maaf, ini ... ada apa?!" Tanya Lin sedikit gugup. Tapi para laki-laki itu tak mempedulikan pertanyaannya. Mereka mengeluarkan sebuah balok kayu dari mobil. Saat itu, Lin mulai berteriak minta tolong. Satu-satunya hal yang ia pikirkan adalah lari dari tempat itu. Menyelamatkan diri, atau setidaknya berharap ada seorang mendengar teriakannya. Mereka lengah, meremehkan seorang bertubuh kurus seperti Linggara. Nyatanya, remaja itu mampu lolos untuk beberapa saat.

Sebelum balok kayu itu membentur bahu dan kepalanya dengan keras. Dan semua menjadi hitam dan kelam. Sama seperti yang ia rasa dan lihat beberapa detik setelahnya.

🍁🍁🍁

Kepalanya serasa mau meledak kala waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore. Berulang kali ia menghubungi ponsel Linggara, tapi tetap tidak ada jawaban. Panggilannya terhubung, tapi tidak diangkat. Renan menatap orang-orang yang berlalu lalang di depannya. Berharap Linggara akan lewat dan ia bisa tersenyum lebar melepas rasa gelisah yang seharian ini dia rasa. Tapi nyatanya, yang bisa Renan lihat adalah orang asing yang sama sekali tidak dia kenal.

Satu hal yang bisa dia pikirkan sekarang, kemungkinan yang paling besar adalah di rumah. Jadi untuk beberapa detik setelahnya, dia memutuskan untuk menelpon Ronata.

"Halo, Renan ada apa?" Suara Ronata bisa dia dengar dengan sangat jelas. Sambil menyeka peluhnya, Renan berkata dengan lirih pada bundanya,

"Bun, Lin ada di rumah ‘kan?!" Terdapat penekanan dalam beberapa kata singkat itu. Ada jeda di antara mereka. Ronata dia di sebrang sana dan membuat remaja itu cukup geram.

"Bun, Bunda dengerin Renan nggak sih?!! Linggara ada di rumah atau enggak?!"

"Renan, Linggara belum ada di rumah. Bukannya bareng sama kamu?" Bisa Renan tangkap tidak ada nada khawatir seperti yang ia rasakan sekarang.

"Mungkin dia lagi main sama temen-temennya. Dia udah besar, kamu jangan anggap dia kaya bocah TK. Umurnya udah 16 tahun, lho."

"Kalau temen-temennya tahu dia kemana, Renan nggak akan sepanik ini. Dari pagi dia nggak masuk sekolah dan temennya nggak tahu apa-apa. Renan berusaha buat hubungi ponsel Lin, tapi tetep nggak di angkat juga. Gimana nggak panik coba?!"

"Ren, Linggara pasti baik-baik saja. Kamu jangan khawatir, nanti dia akan pul—"

"BUNDA KENAPA SIH?! BUNDA NGGAK KHAWATIR ATAU APA?!! ATAU MALAH SENENG KARENA LIN NGGAK ADA?!!" Renan berjongkok di bawah pohon, tiba-tiba tubuhnya terasa lemas. Suara nya bergetar, dan ada titik-titik air keluar dari pelupuk matanya. "Bunda …kenapa Bunda berubah sejak kenal sama Om Dewa? Bunda kenapa …? Lin itu juga anak Bunda ..."

Bukan seperti itu maksud Ronata. Dia tahu bagaimana kebiasaan seorang remaja, di saat Renan seumuran dengan Linggara, remaja itu terlihat lebih liar dari kelihatannya. Pulang larut malam karena ikut ronda, bolos sekolah, dan yang paling sering Renan pernah berkelahi bahkan di jam pelajaran berlangsung.

Sayangnya, Renan tidak berfikir sedangkal itu. Sayangnya dia terlalu khawatir ketika mengingat pasal Dikta yang hingga kini belum menemukan titik terang. Bagaimana jika kejadian itu berulang?

🍁🍁🍁

Remaja itu terlihat menggerakkan tangannya. Matanya juga bergerak dan beberapa detik setelahnya ia melihat gelap di sekelilingnya. Hanya ada temaram cahaya bulan yang melewati ranting-ranting pohon yang tinggi. Ternyata hari sudah malam, Lin mencoba untuk bangkit dari tempatnya. Nyeri di kepalanya adalah satu-satunya hal yang mampu membuatnya kembali terduduk. Perlahan ia memegang bahu bagian kirinya, dan ia tidak bisa merasakan apapun.

Ia melihat sekeliling, barulah ia sadar bahwa ia berada pada hutan belantara. Tanpa ada satupun cahaya dari perumahan. Dia benar-benar diculik dan dibuang seenaknya seperti sampah.

"KAK RENAN!!! AYAH!! TOLONG LIN!!!" hanya itu yang bisa ia teriakkan dalam setiap takutnya. Ia tidak bisa diam saja dan menggigil ketakutan. Ia mendengar suara-suara aneh dari sekitarnya, itu hanyalah hewan liar yang aktif pada malam hari.

Tunggu, aku tidak akan dimakan serigala, 'kan?!

Batin Lin menjerit kala ia berfikir demikian. Tidak ada orang, dan tidak mungkin dia berjalan dari sini. Kepalanya yang terasa sakit, bahunya juga mati rasa dan sekarang bahkan menggerakkan kakinya pun terasa sangat lemas.

Entah apa yang remaja itu pikirkan, ia memaksa tubuhnya untuk bergerak. Walau kini, Lin harus merangkak dan merasakan linu yang amat sangat di bagian kepalanya. Ayahnya akan pulang beberapa waktu lagi, pasti laki-laki itu tak sabar bertemu dengannya. Lin tidak mungkin mengecewakan Jeremi dengan dia yang sudah tidak lagi di tempat Ronata.

Firasatnya ia harus bergerak ke arah sebuah pohon besar tak jauh dari tempatnya. Siapa tahu, di balik pohon itu ada sebuah jalan dan penerangan dari kehidupan penduduk di sana. Tapi yang dia temukan, adalah sebuah gundukan tanah dengan batu seperti nisan tanpa nama di salah satu ujungnya. 

Ia ingin menjerit, tapi entah kenapa ia merasa lega. Jika saja gundukan itu adalah sebuah kuburan yang merasa kesepian, maka dia tidak sendirian lagi di situ. Mungkin, jika tidak ada yang menolongnya beberapa waktu lagi, Lin pasti akan berakhir sepertinya.

🍁🍁🍁

Ingat, jaga jarak antara mata dengan layar gedget Anda 😊

Sabtu, 23 Oktober 2021

Happy Reading...

Dua Arjuna✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang