Sudah beberapa hari Linggara berada di tempat Bunda, tapi nyatanya rumah itu tak bisa senyaman rumah lamanya. Setiap saat, kala ia memandang wajah Bunda diam-diam, ia bertanya apakah Bunda sudah melupakan kenangan-kenangan keluarga kecil mereka di rumah lama? Apakah tidak terbesit keinginan untuk mengunjunginya sekali saja? Sebesar apa kesalahan ayahnya hingga Bunda sudah tak peduli lagi tentang mereka?
Ia menghela nafas pelan, kemudian memandang pergelangan tangannya yang kini terlihat semakin kecil. Entah perasaannya atau apa, tapi di sini tak akan bisa senyaman rumah lamanya bersama ayah. Setiap pagi, dalam sujudnya menghadap kiblat ia selalu berdoa untuk kesembuhan ayahnya dan segera membawanya pergi dari tempat ini.
"Kamu ngapain ngelamun aja di sini? Mau makan? Mau Bunda buatin sesuatu?" tanpa sadar, Ronata sudah duduk di hadapannya. Memandangnya lembut, seakan tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Tak heran, ia dibuat hanyut dalam permainan yang dunia siapkan untuknya. Apalagi posisinya tidak pernah ia tahu seberapa pentingnya. "Enggak, Bun. Lin nggak lapar!" katanya lirih.
"Kamu tahu? Bunda selalu tahu apa yang kakakmu rasakan ketika ia bertingkah aneh. Sampai-sampai dia menyebut Bunda punya indera keenam. Haha, kakakmu itu emang ada-ada saja," kalimatnya terhenti kala di sana dia bisa merasakan suasana yang semakin canggung dan senyap yang ada makin menjadi. Lin hanya diam tanpa memandang wajah bunda, ia hanya ingin mengalihkan pandangannya pada suasana di luar jendela. "Tapi kamu … Bunda nggak tahu apa-apa." Dalam senyap yang kembali datang, tolong bawa Linggara pergi dari tempat ini. Apakah ada alasan lain ia berada di sini? Tidak adakah rasa rindu yang Ronata pendam setelah sekian lama mereka tak bertemu? Tolong jangan buat Lin kembali merasakan bingung.
"Bunda juga tahu nggak? Dulu saat aku sakit, orang pertama yang aku sebut dalam igauanku adalah Bunda. Bunda punya tempat paling lebar di sini," katanya sambil menunjuk dadanya. "Ayah selalu menunda pekerjaannya. Dia panik, sedangkan tidak ada yang bisa dimintai tolong saat itu. Ayah menelpon seseorang sambil menggigit jari-jarinya, tapi nggak ada yang mengangkat telpon itu setelah satu jam berlalu." Ronata mendengarkan cerita Lin. Ia terkejut kala remaja itu menatapnya dengan lekat, manik kelam itu mengatakan semuanya. Mengatakan bahwa ia sedang terluka. Lalu, remaja itu menarik ujung bibirnya.
"Kenapa Bunda nggak angkat telpon Ayah?! Bunda nggak tahu gimana paniknya Ayah saat itu." Ronata terdiam dalam tempatnya. "Aku butuh Bunda. Aku cuma ingin dengar suara Bunda. Seberapa mahal suara Bunda untuk anaknya sendiri?"
"Maaf, posisi Bunda sedang sulit saat itu." Lin mengangguk sambil tersenyum sendu. "Iya, nggak apa-apa. Berkat kejadian itu, aku juga mulai berubah, kok," entah sejak kapan percakapan dua orang itu menjadi sangat serius. Bahkan kini, Ronata sudah meremat ujung bajunya. "Aku sudah tidak pernah menyebut Bunda lagi," dan entah mengapa Ronata merasakan perih yang tiba-tiba. "Karena sebanyak apa aku memanggil Bunda, Bunda nggak akan datang. Iya, ‘kan?"
"Pahamilah posisi Bunda saat itu, kamu nggak pernah merasakan gimana rasanya jadi Bunda yang harus menahan sakit hati karena ayah kamu!" Ronata meninggikan nadanya tanpa sadar.
"Bunda … udah cukup …" Lin masih diam, bukan remaja itu yang bersuara. Melainkan Renan yang berdiri mematung di dekat tangga. Terlihat rahangnya yang mengeras, ia mendengarkan semuanya. Dan kini, pada siapakah ia harus berpihak?
🍁🍁🍁
Jika ada alat yang bisa membuatnya kembali pada masa lalu, maka Delta akan mendapatkannya dengan cara apapun. Tapi sayangnya, dunia ini adalah realita yang dibuat oleh Tuhan dan tidak ada yang tahu bagaimana cara mengaturnya. Alasannya adalah Dikta, selama satu tahun ini ia kehilangan semangat. Kehilangan Dikta membuatnya kehilangan separuh dunianya. Seakan tempat yang dulu kosong, kini mulai terisi kembali dengan nama baru. Walau, mustahil untuknya melupakan sosok Dikta dalam hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Arjuna✓
Teen FictionLinggara tak pernah menyangka ada kehidupan serumit hidupnya. Sosok ayah yang misterius membuat harinya dipenuhi dengan tanda tanya yang tak dapat dijawab siapapun. Ketika ia merasa sedih kala sang ayah mudah tersulut emosi, disaat yang sama ia mera...